Paus Benediktus Meninggal

Paus Benediktus Meninggal

Paus Benediktus XVI punya banyak pengalaman hidup, karena tumbuh besar di masa Perang Dunia II

Paus Benediktus XVI lahir dengan nama Joseph Alois Ratzinger di Jerman pada 16 April 1927. Orangtuanya adalah juru masak hotel dan petugas polisi. Ia dibesarkan di sebuah kota kecil bernama Traunstein, dekat perbatasan Austria.

Joseph Alois Ratzinger sangat menyukai musik sejak kecil. Ia adalah penggemar berat Mozart. Dalam buku yang ditulisnya, Salt of the Earth: The Church at the End of the Millennium (1996), dia mengatakan, "Musiknya [Mozart] menyentuh saya sangat dalam, karena begitu bercahaya dan begitu dalam. Musiknya bukan hanya hiburan, tetapi berisi seluruh tragedi tentang keberadaan manusia." Ratzinger dan abangnya yang bernama Georg, akhirnya belajar musik di bawah pengawasan orangtua mereka yang beragama Katolik.

Tumbuh di Jerman pada masa perang, calon paus ini banyak belajar tentang tragedi kemanusiaan. Saat berusia 6 tahun, ketika rezim Nazi naik ke tampuk kekuasaan di Jerman, Ratzinger bergabung dengan seminari pada 1939. Lalu, pada 1941, ia bergabung dengan Pemuda Hitler sebelum direkrut menjadi militer Jerman dalam upaya perang pada 1943.

Berselang 2 tahun kemudian, pada 1945, Ratzinger membelot. Sayangnya, ia ditangkap oleh pasukan Amerika dan ditahan untuk sementara waktu. Perang berakhir pada tahun yang sama dan Ratzinger pun melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Munich pada 1946. Ia mengambil jurusan teologi dan filsafat sebelum ditahbiskan menjadi imam pada 1951.

Hiu Paling Lembut di Dunia

Hiu paus bukan hanya hiu terbesar dari semua hiu, tetapi juga ikan terbesar di dunia. Hiu paus dapat tumbuh hingga panjang 20 meter, berat 34 ton, dan hidup lebih dari 100 tahun. Punggungnya dapat terlihat berwarna abu-abu, coklat, atau biru dan ditutupi dengan garis-garis dan bintik-bintik putih cerah yang tersusun dalam garis melintang.

Berbeda dengan hiu lainnya, hiu paus bergerak lambat dan stabil di dalam air, dengan kecepatan maksimum hanya 5 km/jam. Hal ini memudahkan untuk bersnorkel dan menyelam bersama hiu paus, sehingga Anda memiliki banyak waktu untuk mengamati hewan yang luar biasa ini. Mereka sangat damai dan sangat aman, membuat berenang bersama hiu paus menjadi pengalaman yang luar biasa. Lebih menyukai perairan hangat, mereka menghuni semua laut tropis. Mereka memakan krill dan plankton, sehingga mudah untuk memprediksi di mana mereka akan berkumpul sepanjang tahun berdasarkan mekarnya krill dan plankton. Cari tahu di sini di mana hiu paus biasanya terlihat sepanjang tahun dan rencanakan perjalanan Anda berikutnya untuk menyelam bersama hiu paus.

Saat menjadi Kardinal, Joseph Alois Ratzinger mendapat julukan Rottweiler Tuhan

Setelah Joseph Alois Ratzinger menjadi pendeta, ia melanjutkan pendidikan akademisnya dan memperoleh gelar doktor di bidang teologi pada 1953. Beberapa tahun kemudian, Ratzinger menjadi profesor yang mengajar di berbagai sekolah tinggi filsafat dan teologi, dengan fokus pada subjek dogma dan teologi fundamental hingga 1969. Tahun itu, dia mengajar teologi dogmatis dan sejarah dogma di Universitas Regensburg, sebelum menjadi wakil presiden di universitas tersebut.

Dikutip Britannica, pada awal karier gerejawinya, Joseph Alois Ratzinger adalah salah satu pemikir yang lebih progresif dalam kelompok sejawatnya. Namun, bertahun-tahun kemudian, pandangannya berubah. Ia pun menjadi pendeta yang condong ke arah konservatif.

Perubahannya ini terinspirasi oleh protes mahasiswa yang dilihatnya pada akhir 1960-an, saat ia bertugas di kota Tübingen. Pasalnya, ada fenomena dimana beberapa orang meninggalkan agama Kristen. Nah, dengan adanya upaya para pengunjuk rasa yang ingin mendekonstruksi dogma iman Kristen dan norma-norma masyarakat lainnya, Ratzinger pun mengubah pandangannya.

Pada tahun-tahun dimana Joseph Alois Ratzinger menjabat sebagai Prefek Kongregasi Ajaran Iman, ia ditunjuk oleh Paus Yohanes Paulus pada saat itu. Ratzinger pun menjadi penasihat Paus Yohanes Paulus II dari 1978 hingga 2005. Ratzinger sangat vokal dalam menentang isu-isu progresif, seperti sekularisasi, teologi pembebasan, feminisme radikal, homoseksualitas, pluralisme agama, dan bioetika. Ia pun mendapat julukan Rottweiler Tuhan.

Meninggalnya Paus Benediktus XVI

Sayangnya, Paus Benediktus XVI meninggal dunia pada usia 95 tahun. Benediktus XVI menghembuskan napas terakhirnya pada 31 Desember 2022. Seperti yang telah diungkapkan juru bicara Vatikan sebelumnya, kesehatan mantan pemimpin Gereja Katolik dari 2005 hingga 2013 itu memang terus memburuk.

Sebuah pernyataan dari Direktur kantor pers Takhta Suci, Matteo Bruni, mengatakan, "Dengan sedih saya memberitahukan bahwa Paus Emeritus, Benediktus XVI, meninggal dunia hari ini [31 Desember 2022] pada pukul 9:34 di Biara Ecclesiae di Vatikan. Informasi lebih lanjut akan diberikan sesegera mungkin." Umat Katolik di seluruh dunia berduka atas kepergian Benediktus XVI.

Paus Benediktus XVI secara resmi meninggalkan jabatannya pada 29 Februari 2013. Ia secara resmi mengundurkan diri dari tugas kepausannya. Pengunduran dirinya terjadi hanya sebulan sebelum Pekan Suci tahun itu, minggu terpenting dalam kalender Katolik.

Pengunduran diri Paus Benediktus XVI sangatlah mengejutkan, mengingat keputusan itu sangat jarang terjadi. Ia pun menjadi paus pertama yang mengundurkan diri dalam kurun waktu 600 tahun terakhir. Akan tetapi, ia menekankan bahwa kesehatannya menjadi penyebab utamanya ia memilih pensiun.

Baca Juga: 9 Paus Paling Kontroversial Sepanjang Sejarah, Dianggap Kejam

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Buku Mengenal 265 Paus dari St. Petrus hingga Benediktus XVI, ini membawa kita secara terbatas serentak utuh kepada panorama sentral dalam Gereja Katolik. Dalam buku ini diperkenalkan pribadi-pribadi kunci, yakni para paus. Mereka ternyata telah menorehkan sumbangsih Gereja Katolik bagi kemanusiaan. Buku ini dapat menjadi salah satu jendela asali yang serentak lengkap, untuk secara langsung menatap kepada jantung dan pusaran kehidupan Gereja sendiri. Dengan mengenal pribadi, karakter, dan sumbangsih pelayanan para paus, dari yang pertama sampai yang ke-265 (terakhir), di hadapan kita terpampang spektrum mini yang memadai dari universum pergumulan kemanusiaan.

Paus Gereja Katolik yang Menggunakan Gelar Benediktus. FOTO/Reuters

merupakan Uskup Roma sekaligus pemimpin Gereja

di seluruh dunia. Keutamaan Uskup Roma yaitu sebagai penerus rasul Santo Petrus yang di dalam Injil ditugaskan oleh Yesus sebagai “penjala manusia”. Hingga saat ini, tugas tersebut dijalankan oleh ratusan Paus.

Kepausan adalah salah satu institusi yang paling bertahan lama di dunia dan telah menjadi bagian penting dari sejarah dunia. Di zaman kuno, para Paus membantu menyebarkan agama Kristen dan menyelesaikan perselisihan doktrinal. Paus Gereja Katolik memiliki nama gelar kepausan yang berbeda-beda.

Paus saat ini adalah Paus Fransiskus, yang terpilih sejak 13 Maret 2013 untuk menggantikan Paus Benediktus XVI. Berikut akan diulas tentang Paus Gereja Katolik yang menggunakan gelar Benediktus dari abad ke-21 hingga ke-18.

Paus Emeritus Benediktus XVI atau nama aslinya adalah Joseph Alois Ratzinger, merupakan Paus Gereja Katolik Roma yang ke-265. Ia mulai menjadi Paus pada 2005 hingga mengundurkan diri pada 28 Februari 2013.

Ia dilantik sebagai Paus secara resmi yang dilakukan melalui Misa Pelantikan Paus 24 April 2005. Paus Benediktus XVI lahir pada 16 April 1927 di Marktl, Bayern, Jerman. Pada usia 78 tahun, dia adalah Paus tertua yang dilantik dalam 275 tahun terakhir.

Dia merupakan menjadi salah satu tokoh terpenting di Vatikan dan teman dekat Yohanes Paulus II sebelum menjadi Paus. Dia pernah juga memimpin pemakaman Yohanes Paulus II pada 2005. Pada sede vacante (kekosongan takhta gereja) terakhir, Paus Benediktus XVI pernah menjabat posisi tertinggi dalam Gereja Katolik Roma.

Pada 28 Februari 2013, ia resmi mengundurkan diri dari kepausan karena alasan kesehatan. Tepat sebelum pergantian tahun 31 Desember 2022 kemarin, ia telah meninggal dunia di usia 95 tahun. Benediktus XVI disebut sebagai sosok yang mulia, baik hati, dan berbakat bagi Gereja Katolik Roma.

Paus Benediktus XV atau yang memiliki nama lahir Giacomo Paolo Giovanni Battista Della Chiesa adalah Kepala Gereja Katolik sejak 3 September 1914 sampai kematiannya pada tahun 1922. Ia lahir pada 21 November 1854 di Genoa, Italia. Della Chiesa ditahbiskan menjadi imam oleh Kardinal Raffaele Monaco La Valletta pada 21 Desember 1878.

Vatikan, iNewsTTU.id- Kantor Pers Tahta Suci melalui Matteo Bruni mengumumkan bahwa Paus Emeritus meninggal pada pukul 09:34 pada Sabtu pagi (31/12/2022), di kediamannya di Biara Mater Ecclesiae, yang telah dipilih oleh Paus emeritus berusia 95 tahun sebagai kediamannya setelah mengundurkan diri dari pelayanan Petrine pada tahun 2013.

“Dengan kesedihan Saya memberi tahu Anda bahwa Paus Emeritus Benediktus XVI meninggal dunia hari ini pukul 09.34 di Biara Mater Ecclesiae di Vatikan," ujar Matteo Bruni dilansir Vatican News.

Marciana Minta Jajaran Imigrasi Beri Pelayanan Terbaik Bagi Pelintas di PLBN Motaain

"Informasi lebih lanjut akan diberikan sesegera mungkin. Mulai Senin pagi, 2 Januari 2023, jenazah Paus Emeritus akan berada di Basilika Santo Petrus sehingga umat beriman dapat mengucapkan selamat tinggal," lanjutnya.

Berita tentang kondisi kesehatan yang memburuk

Sudah selama beberapa hari, kondisi kesehatan Paus Emeritus semakin memburuk karena usia lanjut, seperti yang dilaporkan oleh Kantor Pers dalam pembaruannya tentang situasi yang berkembang.

Paus Fransiskus sendiri secara terbuka membagikan berita tentang kesehatan pendahulunya yang memburuk pada akhir Audiensi Umum terakhir tahun ini, pada 28 Desember 2022.

Editor : Sefnat Besie

Copyright © 2024 . TATOLI Agência Noticiosa de Timor-Leste.

error: Content is protected !!

TRIBUNMANADO.CO.ID - Berikut ini profil Paus Benediktus XVI.

Kabar duka menyelimuti umat Katolik di seluruh dunia.

Paus Benediktus XVI meninggal dunia pada Sabtu (31/12/2022) pukul 09.34 waktu setempat.

Dilansir dari BBC, Paus Benediktus mengembuskan napas terakhirnya pada usia 95 tahun di Biara Mater Ecclesia, Vatikan.

Kabar meninggalnya mantan pemimpin Gereja Katolik ini berembus setelah kesehatannya selama beberapa hari belakangan menurun.

Hingga beberapa waktu lalu, Paus Fransiskus sempat mengajak umat Katolik untuk mendoakan Paus Benediktus yang kondisinya makin mengkhawatirkan.

Berikut profil Benediktus, Paus pertama dalam Gereja Katolik yang mengundurkan diri dari Takhta Suci dalam kurun waktu 600 tahun terakhir.

Paus kelahiran Jerman

Paus Benediktus yang bernama asli Joseph Ratzinger ini lahir di Jerman pada 16 April 1927.

Dikutip dari situs resmi Vatikan, ia berasal dari ayah yang berprofesi sebagai polisi dan keluarganya adalah petani tradisional.

Paus Benediktus sempat menghabiskan masa mudanya di sebuah kota kecil yang berada di perbatasan Austria bernama Traunstein.

Perjalanan spiritual Paus yang pernah memimpin lebih dari satu miliar umat Katolik di dunia ini berawal dari getirnya hidup di bawah rezim Nazi.

Ketika Hitler berkuasa, ia pernah melihat pastor di parokinya dipukul oleh pasukan tersebut sebelum Misa Kudus dirayakan.

Ia juga menyadari munculnya perselisihan yang sengit terhadap Gereja Katolik pada saat itu di Jerman.

TRIBUNFLORES.COM - Paus Emeritus Benediktus XVI meninggal dunia di Vatikan, Sabtu 31 Desember 2022.

Paus Benediktus XVI, pemimpin Gereja Katolik ke 265 itu, meninggal dunia di usia 95 tahun.

Melansir The Sun, kabar meninggalnya Paus Benediktus diumumkan oleh Jurus Bicara Vatikan, Matteo Bruni.

Matteo Bruni, menyampaikan, Paus Benediktus meninggal dunia pukul 9:34 waktu setempat di Biara Mater Ecclesia, Vatikan.

Baca juga: Mantan Paus Benediktus Sakit Parah, Ini Profilnya dan Simak Pesan Paus Fransiskus

"Dengan rasa sakit saya memberi tahu Anda bahwa Paus Emeritus Benediktus XVI meninggal hari ini di Biara Mater Ecclesia di Vatikan," kata Matteo Bruni sebagaimana dikutip dari The Sun.

Vatikan juga mengumumkan, jenazah Paus Benediktus XVI akan disemayamkan mulai Senin di Basilika Santo Petrus hingga pemakamannya pada 5 Januari.

Paus Fransiskus akan memimpin upacara pemakaman yang akan berlangsung di alun-alun besar di depan Basilika.

Paus Benediktus XVI Sakit Keras

Sebelum Paus Benediktus XVI meninggal, beberapa hari sebelumnya, Paus Fransiskus mengumumkan mengenai kondisi kesehatan pendahulunya itu.

Paus Fransiskus mengumumkan bahwa kondisi kesehatan Paus Benediktus XVI menurun drastis, sakit parah.

Paus Fransiskus pun meminta agar umat di seluruh dunia untuk mendoakan Paus Benediktus.

Baca juga: Kunjungan Resmi PWKI ke Vatikan, Berikan Hadiah Istimewa untuk Paus Fransiskus

Seruan Paus Fransiskus meminta doa umat, berlangsung di Vatikan, Rabu 28 Desember 2022.

Paus Benediktus XVI (bahasa Latin: Benedictus PP. XVI; bahasa Italia: Benedetto XVI; bahasa Jerman: Benediktus XVI ; lahir Joseph Aloisius Ratzinger; 16 April 1927 – 31 Desember 2022) adalah Paus Gereja Katolik ke-265 dan kepala Negara Kota Vatikan dari 19 April 2005 hingga pengunduran dirinya pada tanggal 28 Februari 2013. Terpilihnya Benediktus sebagai paus terjadi dalam konklaf 2005 setelah kematian Paus Yohanes Paulus II. Benediktus memilih untuk dikenal sebagai "Paus emeritus" setelah pengunduran dirinya, dan ia mempertahankan gelar ini hingga kematiannya pada 31 Desember 2022.[9][10]

Ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1951 di negara asalnya Bavaria, Ratzinger memulai karir akademik dan memantapkan dirinya sebagai seorang teolog yang sangat dihormati pada akhir tahun 1950-an. Ia diangkat menjadi profesor penuh pada tahun 1958 pada usia 31 tahun. Setelah karir yang panjang sebagai profesor teologi di beberapa universitas Jerman, ia diangkat menjadi Uskup Agung München dan Freising dan kemudian diangkat menjadi kardinal oleh Paus Paulus VI pada tahun 1977, sebuah promosi yang tidak biasa bagi seseorang yang memiliki sedikit pengalaman pastoral. Pada tahun 1981, ia diangkat menjadi Prefek Kongregasi bagi Doktrin Iman, salah satu dikasteri terpenting dari Kuria Romawi. Dari tahun 2002 hingga ia terpilih sebagai Paus, ia juga menjabat sebagai Kepala Dewan Kardinal. Sebelum menjadi Paus, ia telah menjadi "tokoh utama di panggung Vatikan selama seperempat abad"; dia mempunyai pengaruh yang "tidak ada duanya dalam menentukan prioritas dan arah gereja" sebagai salah satu orang kepercayaan terdekat Paus Yohanes Paulus II.[11]

Tulisan-tulisan Paus Benediktus XVI sangat produktif dan secara umum membela doktrin, nilai-nilai, dan liturgi tradisional Katolik.[12] Ia awalnya adalah seorang teolog liberal tetapi mengadopsi pandangan konservatif setelah tahun 1968.[13] Selama masa kepausannya, Benediktus menganjurkan kembalinya nilai-nilai Kristiani yang fundamental untuk melawan peningkatan sekularisasi di banyak negara-negara Barat. Dia memandang penolakan relativisme terhadap kebenaran objektif, dan penolakan kebenaran moral pada khususnya, sebagai masalah utama abad ke-21. Benediktus juga menghidupkan kembali beberapa tradisi, termasuk Misa Tridentina.[14] Dia memperkuat hubungan antara Gereja Katolik dan seni, mempromosikan penggunaan Bahasa Latin,[15] dan memperkenalkan kembali jubah kepausan tradisional, yang karenanya ia disebut "paus estetik".[16] Penanganan Benediktus terhadap kasus pelecehan seksual dalam Gereja Katolik dan penolakan terhadap penggunaan kondom di wilayah penularan HIV yang tinggi menyebabkan kritik substansial yang besar dari pejabat kesehatan masyarakat, aktivis anti-AIDS, dan organisasi hak-hak korban.[17][18]

Pada 11 Februari 2013, Paus Benediktus XVI mengumumkan pengunduran dirinya, dengan alasan "kurangnya kekuatan pikiran dan tubuh" karena usianya yang sudah lanjut. Pengunduran dirinya merupakan yang pertama yang dilakukan oleh seorang Paus sejak Paus Gregorius XII pada tahun 1415, dan yang pertama atas inisiatif Paus sejak Paus Selestinus V pada tahun 1294. Ia digantikan oleh Paus Fransiskus pada 13 Maret 2013 dan pindah ke Biara Mater Ecclesiae yang baru direnovasi di Kota Vatikan untuk masa pensiunnya. Selain bahasa ibunya, Jerman, Paus Benediktus XVI juga fasih berbahasa Prancis, Italia, Inggris, dan Spanyol. Dia juga menguasai Portugis, Latin, Ibrani Alkitab, dan Yunani Alkitab.[19][20][21] Dia adalah anggota dari beberapa akademi keilmuan sosial, seperti Académie des Sciences Morales et Politiques, Prancis. Dia bisa memainkan alat musik piano dan menyukai komposer musik klasik seperti Mozart dan Bach.[22]

Joseph Aloisius Ratzinger (Jerman: [ˈjoːzɛf ʔaˈlɔʏzi̯ʊs ˈʁatsɪŋɐ]) lahir pada tanggal 16 April, Sabtu Suci, 1927 di Schulstraße 11 pukul 8:30 pagi di rumah orang tuanya di Marktl, Bavaria, Jerman. Dia dibaptis pada hari yang sama. Dia adalah anak ketiga dan bungsu dari Joseph Ratzinger Sr., seorang petugas polisi, dan Maria Ratzinger (née Peintner); paman kakeknya adalah pastor-politisi Jerman Georg Ratzinger. Keluarga ibunya berasal dari Tyrol Selatan (sekarang di Italia).[23] Kakak laki-laki Benediktus, Georg, menjadi Pastor Katolik dan mantan direktur paduan suara Regensburger Domspatzen.[24] Adiknya, Maria, yang tidak pernah menikah, mengelola rumah tangga saudara laki-lakinya Joseph hingga dia meninggal pada tahun 1991.[25]

Pada usia lima tahun, Ratzinger berada di sekelompok anak-anak yang menyambut kunjungan Kardinal Uskup Agung Munich, Michael von Faulhaber, dengan bunga. Terkejut dengan pakaian khas sang kardinal, pada hari itu juga dia mengumumkan bahwa dia ingin menjadi kardinal. Ia bersekolah di sekolah dasar di Aschau am Inn, yang diganti namanya untuk menghormatinya pada tahun 2009.[26] Pada tahun 1939, pada usia 12 tahun, dia mendaftar di seminari dasar di Traunstein.[27] Periode ini berlangsung hingga seminari ditutup untuk keperluan militer pada tahun 1942, dan semua siswa dipulangkan. Ratzinger kembali ke Traunstein.[28]

Keluarga Ratzinger, terutama ayahnya, sangat membenci Nazi, dan penentangan ayahnya terhadap Nazisme mengakibatkan penurunan pangkat dan pelecehan terhadap keluarga tersebut.[29] Setelah ulang tahunnya yang ke-14 pada tahun 1941, Ratzinger dimasukkan ke dalam Pemuda Hitler – karena keanggotaan diwajibkan oleh hukum untuk semua anak laki-laki Jerman berusia 14 tahun setelah Maret 1939[30] – tetapi merupakan anggota yang tidak antusias dan menolak menghadiri rapat, menurut saudaranya.[31] Pada tahun 1941, salah satu sepupu Ratzinger, yang berusia 14 tahun -anak laki-laki tua dengan Sindrom Down, dibawa pergi oleh rezim Nazi dan dibunuh selama Aktion T4 kampanye Nazi eugenics.[32] Pada tahun 1943, saat masih di seminari, dia direkrut menjadi korps antipesawat Jerman sebagai Luftwaffenhelfer.[31] Ratzinger kemudian dilatih di Infanteri Jerman.[33] Saat pasukan Sekutu semakin dekat ke posnya pada tahun 1945, ia kembali ke rumah keluarganya di Traunstein setelah unitnya tidak ada lagi, tepat ketika pasukan Amerika mendirikan markas besar di rumah tangga Ratzinger.[34] Sebagai seorang tentara Jerman, dia diinternir di kamp tawanan perang AS, pertama di Neu-Ulm, kemudian di Fliegerhorst Bad Aibling (segera diubah menjadi Bad Aibling Station) di mana dia berada pada saat Hari Kemenangan di Eropa, dan dibebaskan pada 19 Juni 1945.[35][34]

Ratzinger dan saudaranya Georg masuk Seminari Santo Mikael di Traunstein pada bulan November 1945, kemudian belajar di Ducal Georgianum (Herzogliches Georgianum) dari Universitas Ludwig Maximilian di Munich. Mereka berdua ditahbiskan di Freising pada tanggal 29 Juni 1951 oleh Kardinal Michael von Faulhaber dari Munich – pria yang sama yang ditemui Ratzinger saat masih kecil. Dia mengenang: "pada saat Uskup Agung tua itu meletakkan tangannya ke atas saya, seekor burung kecil – mungkin seekor burung – terbang dari altar di katedral tinggi dan menyanyikan sedikit lagu gembira".[36] Ia merayakan Misa pertamanya kemudian musim panas itu di Traunstein, di Gereja Santo Oswald.[37]

Disertasi Ratzinger pada tahun 1953 mengenai Agustinus dari Hippo dan diberi judul Umat dan Rumah Tuhan dalam Doktrin Gereja Agustinus. Habilitasi miliknya (yang membuatnya memenuhi syarat untuk jabatan profesor) ada di Bonaventura. Selesai pada tahun 1957 dan ia menjadi profesor di Kolese Freising pada tahun 1958.[38]

Di awal usia dua puluhan, Ratzinger sangat dipengaruhi oleh pemikiran orang Jerman-Italia Romano Guardini,[39] yang mengajar di Munich dari tahun 1946 hingga 1951 ketika Ratzinger belajar di Freising dan kemudian di Universitas Munich. Kedekatan intelektual antara kedua pemikir ini, yang kemudian menjadi tokoh penentu bagi Gereja Katolik abad ke-20, disibukkan dengan menemukan kembali esensi Kekristenan: Guardini menulis The Essence of Christianity pada tahun 1938, sementara Ratzinger menulis Pengantar Kekristenan, tiga dekade kemudian pada tahun 1968. Guardini menginspirasi banyak orang dalam tradisi sosial-demokrasi Katolik, khususnya gerakan Persekutuan dan Pembebasan dalam Evangelisasi Baru yang didorong di bawah kepausan Paus Yohanes Paulus II. Ratzinger menulis pengantar untuk penerbitan ulang Guardini tahun 1954 The Lord.[40]

Ratzinger mulai sebagai asisten pastor (kurator) di paroki St. Martin, Moosach, di Munich pada tahun 1951.[41] Ratzinger menjadi profesor di Universitas Bonn pada tahun 1959, dengan kuliah perdananya tentang "Dewa Iman dan Tuhan Filsafat". Pada tahun 1963, dia pindah ke Universitas Münster. Selama periode ini, ia berpartisipasi dalam Konsili Vatikan Kedua (1962–1965) dan menjabat sebagai peritus (konsultan teologi) untuk Kardinal Frings dari Cologne. Pada masa konsili ia dipandang sebagai seorang reformis, bekerja sama dengan para teolog seperti Hans Küng[42] dan Edward Schillebeeckx.[43] Ratzinger menjadi pengagum Karl Rahner, seorang teolog akademis terkenal dari Nouvelle théologie dan pendukung reformasi Gereja.[44]

Pada tahun 1966, Ratzinger diangkat menjadi ketua teologi dogmatis di Universitas Tübingen, di mana dia menjadi rekan Hans Küng. Dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1968, Introduction to Christianity, ia menulis bahwa Paus mempunyai kewajiban untuk mendengarkan suara-suara yang berbeda di dalam Gereja sebelum mengambil keputusan, dan ia meremehkan sentralitas kepausan. Selama ini, ia menjauhkan diri dari suasana Tübingen dan kecenderungan gerakan mahasiswa Marxis tahun 1960-an yang dengan cepat menjadi radikal, pada tahun 1967 dan 1968, yang berpuncak pada serangkaian kerusuhan dan kerusuhan pada bulan April dan Mei 1968. Ratzinger semakin melihat hal ini dan perkembangan terkait (seperti berkurangnya rasa hormat terhadap otoritas di kalangan murid-muridnya) sebagai hal yang berkaitan dengan penyimpangan dari ajaran Katolik tradisional.[45] Meskipun ia cenderung reformis, pandangannya semakin kontras dengan gagasan liberal yang mulai populer di kalangan teologis.[46] Ia diundang oleh Pastor Theodore Hesburgh untuk bergabung dengan fakultas teologi di Universitas Notre Dame, namun ditolak dengan alasan bahwa bahasa Inggrisnya kurang bagus.[47]

Beberapa suara, di antaranya Küng, menganggap periode kehidupan Ratzinger ini sebagai peralihan ke arah konservatisme, sementara Ratzinger sendiri mengatakan dalam sebuah wawancara tahun 1993, "Saya tidak melihat adanya perubahan dalam pandangan saya sebagai seorang teolog [selama bertahun-tahun]".[48] Ratzinger terus membela karya Konsili Vatikan Kedua, termasuk Nostra aetate, dokumen tentang penghormatan terhadap agama lain, ekumenisme, dan deklarasi hak atas kebebasan beragama. Belakangan, sebagai Prefek Kongregasi Ajaran Iman, Ratzinger dengan paling jelas menguraikan posisi Gereja Katolik terhadap agama-agama lain dalam dokumen tahun 2000 ' 'Dominus Iesus yang juga berbicara tentang cara Katolik untuk terlibat dalam "dialog ekumenis". Selama berada di Universitas Tübingen, Ratzinger menerbitkan artikel di jurnal teologi reformis Concilium, meskipun ia semakin memilih tema yang kurang reformis dibandingkan kontributor majalah lainnya seperti Küng dan Schillebeeckx.[49]

Pada tahun 1969, Ratzinger kembali ke Bavaria, ke Universitas Regensburg dan ikut mendirikan jurnal teologi Communio, dengan Hans Urs von Balthasar, Henri de Lubac, Walter Kasper, dan lainnya, pada tahun 1972. Communio, yang kini diterbitkan dalam tujuh belas bahasa, termasuk Jerman, Inggris, dan Spanyol, telah menjadi jurnal terkemuka pemikiran teologi Katolik kontemporer. Sampai dia terpilih sebagai Paus, dia tetap menjadi salah satu kontributor jurnal yang paling produktif. Pada tahun 1976, ia menyarankan agar Pengakuan Iman Augsburg diakui sebagai pernyataan iman Katolik.[50][51] Beberapa mantan murid Benediktus menjadi orang kepercayaannya, terutama Christoph Schönborn, dan sejumlah mantan muridnya terkadang bertemu untuk berdiskusi.[52][53] Ia menjabat sebagai wakil presiden Universitas Regensburg dari tahun 1976 hingga 1977.[54] Pada tanggal 26 Mei 1976, ia diangkat menjadi Prelat Kehormatan-Nya Yang Mulia.[55]

Pada tanggal 24 Maret 1977, Ratzinger diangkat Uskup Agung Munich dan Freising, dan ditahbiskan menjadi uskup pada tanggal 28 Mei. Ia mengambil semboyan keuskupannya Cooperatores veritatis (Latin untuk 'pekerja kebenaran'),[56] dari Surat Yohanes yang Ketiga,[57] pilihan yang dikomentarinya di karya otobiografi Tonggak Pencapaian.[58]

Dalam konsistori tanggal 27 Juni 1977, ia diangkat menjadi Kardinal-Imam Santa Maria Consolatrice al Tiburtino oleh Paus Paulus VI. Pada saat Konklaf 2005, dia adalah salah satu dari empat belas kardinal tersisa yang diangkat oleh Paulus VI, dan satu dari tiga kardinal yang berusia di bawah 80 tahun. Dari jumlah tersebut, hanya dia dan William Wakefield Baum yang mengambil bagian dalam konklaf.[59]

Pada tanggal 25 November 1981, Paus Yohanes Paulus II, setelah pensiunnya Franjo Šeper, menunjuk Ratzinger sebagai Prefek Kongregasi bagi Doktrin Iman, yang sebelumnya dikenal sebagai "Kongregasi Suci Kantor Suci", Inkuisisi Roma yang bersejarah. Akibatnya, dia mengundurkan diri dari jabatannya di Munich pada awal tahun 1982. Dia dipromosikan di Dewan Kardinal menjadi Kardinal Uskup Velletri-Segni pada tahun 1993 dan diangkat menjadi wakil dekan perguruan tinggi tersebut pada tahun 1998 dan dekan pada tahun 2002. Hanya setahun setelah didirikan pada tahun 1990, Ratzinger bergabung dengan European Academy of Sciences and Arts di Salzburg.[60][61]

Ratzinger membela dan menegaskan kembali doktrin Katolik, termasuk pengajaran tentang topik-topik seperti pengendalian kelahiran, homoseksualitas, dan dialog antaragama. Teolog Leonardo Boff, misalnya, diskors, sementara yang lain seperti Matthew Fox dikecam. Masalah-masalah lain juga memicu kecaman atau pencabutan hak untuk mengajar: misalnya, beberapa tulisan anumerta dari pastor Yesuit Anthony de Mello menjadi subjek pemberitahuan. Ratzinger dan jemaatnya memandang banyak dari karya-karya tersebut, khususnya karya-karya selanjutnya, memiliki unsur indiferentisme agama (dengan kata lain, bahwa Kristus adalah "satu tuan di samping yang lain"). Secara khusus, Dominus Iesus, yang diterbitkan oleh kongregasi pada tahun yubileum 2000, menegaskan kembali banyak gagasan yang belakangan ini “tidak populer”, termasuk pendirian Gereja Katolik bahwa “keselamatan tidak ada pada siapapun juga, sebab tidak ada nama lain di bawah nama-nama lain.” surga yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan." Dokumen tersebut membuat marah banyak gereja Protestan dengan mengklaim bahwa mereka bukanlah gereja, melainkan "komunitas gerejawi".[62]

Surat Ratzinger tahun 2001 De delictis gravioribus mengklarifikasi kerahasiaan penyelidikan internal gereja, sebagaimana didefinisikan dalam dokumen tahun 1962 Crimen solliitationis, atas tuduhan yang dibuat terhadap pastor atas kejahatan tertentu, termasuk pelecehan seksual. Hal ini menjadi subyek kontroversi selama kasus pelecehan seksual.[63] Selama 20 tahun, Ratzinger menjadi orang yang bertugas menegakkan dokumen tersebut.[64]

Meskipun para uskup hanya menjaga kerahasiaan secara internal, dan tidak menghalangi penyelidikan oleh penegak hukum sipil, surat tersebut sering dianggap mendukung upaya menutup-nutupi.[65] Kemudian, sebagai Paus, dia dituduh dalam tuntutan hukum berkonspirasi untuk menutupi penganiayaan terhadap tiga anak laki-laki di Texas, namun mencari dan memperoleh kekebalan diplomatik dari tanggung jawab.[66]

Pada tanggal 12 Maret 1983, Ratzinger, sebagai prefek, memberi tahu umat awam dan pastor bahwa Uskup Agung Pierre Martin Ngô Đình Thục telah melakukan ekskomunikasi latae sententiae untuk penahbisan terlarang uskup tanpa mandat apostolik. Pada tahun 1997, ketika ia berusia 70 tahun, Ratzinger meminta izin kepada Paus Yohanes Paulus II untuk meninggalkan Kongregasi Ajaran Iman dan menjadi arsiparis di Arsip Apostolik Vatikan dan pustakawan di Perpustakaan Vatikan, namun Paus Yohanes Paulus II menolak persetujuannya.[67][68]

Ratzinger terlibat dalam dialog dengan ahli teori kritis Jürgen Habermas pada tahun 2004, diterbitkan tiga tahun kemudian oleh Ignatius Press.[69]

Pada bulan April 2005, sebelum terpilih sebagai Paus, Ratzinger diidentifikasi sebagai salah satu dari 100 orang paling berpengaruh di dunia oleh Time.[70] Saat menjadi Prefek Kongregasi Ajaran Iman, Ratzinger berulang kali menyatakan keinginannya untuk pensiun ke rumahnya di desa Bavaria Pentling dekat Regensburg dan mengabdikan dirinya untuk menulis buku.[71]

Pada konklaf kepausan, "jika bukan Ratzinger, lalu siapa? Dan ketika mereka mengenalnya, pertanyaannya adalah, mengapa bukan Ratzinger?"[72][73] Pada tanggal 19 April 2005, ia terpilih pada hari kedua setelah empat pemungutan suara.[72] Kardinal Cormac Murphy-O'Connor menggambarkan pemungutan suara terakhir, "Ini sangat sungguh-sungguh ketika Anda naik satu per satu untuk memasukkan suara Anda ke dalam guci dan Anda melihat Penghakiman Terakhir karya Michelangelo. Dan saya masih ingat dengan jelas Kardinal Ratzinger saat itu duduk di tepi kursinya."[74] Ratzinger berharap untuk pensiun dengan damai dan mengatakan bahwa "Pada titik tertentu, saya berdoa kepada Tuhan 'tolong jangan lakukan ini padaku'...Ternyata, kali ini Dia tidak mendengarkan saya."[75]

Di balkon, kata-kata pertama Benediktus kepada orang banyak, yang disampaikan dalam bahasa Italia sebelum ia memberikan pemberkatan tradisional Urbi et Orbi dalam bahasa Latin, adalah:

Saudara dan saudari terkasih, setelah Paus Yohanes Paulus II, para Kardinal telah memilih saya, seorang pekerja sederhana dan rendah hati di kebun anggur Tuhan. Kenyataan bahwa Tuhan tahu bagaimana bekerja dan bertindak bahkan dengan peralatan yang tidak mencukupi menghiburku, dan di atas semua itu aku mempercayakan diriku pada doa-doamu. Dalam sukacita Tuhan Yang Bangkit, yakin akan bantuan-Nya yang tiada henti, marilah kita bergerak maju. Tuhan akan membantu kita, dan Maria, Bunda-Nya yang Tersuci, akan berada di pihak kita. Terima kasih.[76]

Pada tanggal 24 April, Benediktus merayakan Misa Pelantikan Kepausan di Lapangan Santo Petrus, di mana ia dianugerahi Pallium dan Cincin Nelayan.[77] Pada tanggal 7 Mei, ia bertakhta secara resmi di Basilika Agung Santo Yohanes Lateran.[78]

Paus Benediktus XVI memilih nama kepausan miliknya, yang berasal dari kata Latin yang berarti "yang diberkati", untuk menghormati Paus Benediktus XV dan Benediktus dari Nursia.[79] Paus Benediktus XV adalah Paus selama Perang Dunia Pertama, dan pada saat itu ia dengan penuh semangat mengupayakan perdamaian antara negara-negara yang bertikai. Santo Benediktus dari Nursia adalah pendiri biara-biara Benediktin (sebagian besar biara pada Abad Pertengahan adalah biara ordo Benediktin) dan penulis Peraturan Santo Benediktus, yang hingga saat ini masih tulisan paling berpengaruh mengenai kehidupan biara Kekristenan Barat. Paus menjelaskan pilihan namanya pada audiensi umum pertamanya di Lapangan Santo Petrus, pada 27 April 2005:

Dipenuhi dengan perasaan kagum dan syukur, saya ingin berbicara tentang alasan saya memilih nama Benediktus. Pertama, saya ingat Paus Benediktus XV, utusan perdamaian yang berani, yang membimbing Gereja melewati masa-masa penuh gejolak perang. Mengikuti jejak beliau, saya menempatkan pelayanan saya pada pelayanan rekonsiliasi dan keharmonisan antar bangsa. Selain itu, saya teringat Santo Benediktus dari Nursia, rekan pelindung Eropa, yang kehidupannya mengingatkan pada akar Kristiani di Eropa. Saya memintanya untuk membantu kita semua berpegang teguh pada sentralitas Kristus dalam kehidupan Kristiani kita: Semoga Kristus selalu menempati tempat pertama dalam pikiran dan tindakan kita![80]

Pada Misa pengukuhan Benediktus, kebiasaan sebelumnya di mana setiap kardinal tunduk kepada Paus digantikan dengan disambut oleh dua belas orang, termasuk para kardinal, pastor, religius, pasangan suami istri dan anak mereka, serta beberapa orang yang baru ditahbiskan; para kardinal telah secara resmi bersumpah untuk taat setelah terpilihnya Paus yang baru. Dia mulai menggunakan mobil kepausan beratap terbuka, mengatakan bahwa dia ingin lebih dekat dengan masyarakat. Benediktus melanjutkan tradisi pendahulunya Paus Yohanes Paulus II dan membaptis beberapa bayi di Kapel Sistina setiap awal tahun, pada Pesta Pembaptisan Tuhan, dalam karyanya peran pastoral sebagai Uskup Roma.[81]

Pada tanggal 9 Mei 2005, Benediktus XVI memulai proses beatifikasi untuk pendahulunya, Paus Yohanes Paulus II. Biasanya, lima tahun harus berlalu setelah kematian seseorang sebelum proses beatifikasi dapat dimulai. Namun, dalam audiensi dengan Benediktus, Camillo Ruini, vikjen Keuskupan Roma dan pejabat yang bertanggung jawab untuk mempromosikan penyebab kanonisasi siapa pun yang meninggal di keuskupan tersebut, mengutip "keadaan luar biasa" yang menunjukkan bahwa masa tunggu dapat ditiadakan. (Hal ini pernah terjadi sebelumnya, ketika Paus Paulus VI mengesampingkan aturan lima tahun dan mengumumkan proses membeatifikasi dua pendahulunya, Paus Pius XII dan Paus Yohanes XXIII. Benediktus XVI mengikuti preseden ini ketika ia mengesampingkan pemerintahan lima tahun untuk Paus Yohanes Paulus II.[82]) Keputusan tersebut diumumkan pada tanggal 13 Mei 2005, Hari Raya Bunda dari Fátima dan peringatan 24 tahun percobaan pembunuhan terhadap Yohanes Kehidupan Paul II.[83] Yohanes Paulus II sering memuji Bunda Maria Fátima karena telah melestarikannya pada hari itu. Kardinal Ruini meresmikan proses beatifikasi tahap keuskupan di Basilika Lateran pada tanggal 28 Juni 2005.[84]

Beatifikasi pertama di bawah kepemimpinan Paus baru dirayakan pada tanggal 14 Mei 2005, oleh José Saraiva Martins, Kardinal Prefek dari Kongregasi Penggelaran Para Kudus. Venerabilis yang baru adalah Marianne Cope dan Ascensión Nicol Goñi. Kardinal Clemens August Graf von Galen dibeatifikasi pada tanggal 9 Oktober 2005. Mariano de la Mata dibeatifikasi pada bulan November 2006 dan Rosa Eluvathingal dibeatifikasi pada tanggal 3 Desember tahun itu, dan Basil Moreau dibeatifikasi pada bulan September 2007.[85] Pada bulan Oktober 2008, beatifikasi berikut dilakukan: Celestine Bunda Allah, Giuseppina Nicoli, Hendrina Stenmanns, Maria Rosa Flesch, Marta Anna Wiecka, Michael Sopocko, Petrus Kibe Kasui dan 187 Sahabat, Susana Paz-Castillo Ramírez, dan Maria Isbael Salvat Romero.

Pada tanggal 19 September 2010, selama kunjungan ke Britania Raya, Paus Benediktus XVI secara pribadi memproklamirkan beatifikasi John Henry Newman.[86]

Berbeda dengan pendahulunya, Benediktus mendelegasikan pelayanan liturgi beatifikasi kepada seorang kardinal. Pada tanggal 29 September 2005, Kongregasi Penggelaran Para Kudus mengeluarkan komunike yang mengumumkan bahwa selanjutnya beatifikasi akan dirayakan oleh wakil Paus, biasanya prefek Kongregasi tersebut.[87]

Selama masa kepausannya, Benediktus XVI telah mengkanonisasi 45 orang.[88] Ia merayakan kanonisasi pertamanya pada tanggal 23 Oktober 2005 di Lapangan Santo Petrus ketika ia mengkanonisasi Josef Bilczewski, Alberto Hurtado, Zygmunt Gorazdowski, Gaetano Catanoso, dan Felice da Nicosia. Kanonisasi merupakan bagian dari misa yang menandai berakhirnya Sidang Umum Sinode Para Uskup dan Tahun Ekaristi.[89] Benediktus mengkanonisasi Uskup Rafael Guizar y Valencia, Theodore Guerin, Filippo Smaldone, dan Rosa Venerini pada tanggal 15 Oktober 2006.

Selama kunjungannya ke Brasil pada tahun 2007, Paus Benediktus XVI memimpin kanonisasi Frei Galvão pada tanggal 11 Mei, sementara George Preca, pendiri MUSEUM yang berbasis di Malta, Szymon dari Lipnica, Charles dari Gunung Argus, dan Marie-Eugénie de Jésus dikanonisasi dalam sebuah upacara yang diadakan di Vatikan pada tanggal 3 Juni 2007.[90] Preca adalah orang suci Malta pertama sejak negara itu berpindah agama menjadi Katolik pada tahun 60 M ketika Santo Paulus mengevangelisasi penduduknya.[91] Pada bulan Oktober 2008, kanonisasi berikut dilakukan: Alphonsa Yang Dikandung Tanpa Noda dari India,[92] Gaetano Errico, Narcisa de Jesus Martillo Moran, dan Maria Bernarda Bütler. Pada bulan April 2009, Paus mengkanonisasi Arcangelo Tadini, Bernardo Tolomei, Nuno Álvares Pereira, Geltrude Comensoli, dan Caterina Volpicelli.[93] Pada bulan Oktober tahun yang sama ia mengkanonisasi Jeanne Jugan, Damien de Veuster, Zygmunt Szczęsny Feliński, Francisco Coll Guitart, dan Rafael Arnáiz Barón.[94][95]

Pada tanggal 17 Oktober 2010, Benediktus mengkanonisasi André Bessette, seorang Perancis-Kanada; Stanisław Sołtys, seorang pastor Polandia abad ke-15; biarawati Italia Giulia Salzano dan Camilla Battista da Varano; biarawati Spanyol Candida Maria de Jesus Cipitria y Barriola; dan orang suci Australia pertama, Mary MacKillop.[96] Pada tanggal 23 Oktober 2011, ia mengkanonisasi tiga orang kudus: seorang biarawati Spanyol Bonifacia Rodríguez y Castro, Italia uskup agung Guido Maria Conforti, dan pastor Italia Luigi Guanella.[97] Pada bulan Desember 2011, Paus secara resmi mengakui keabsahan mukjizat yang diperlukan untuk melanjutkan kanonisasi Kateri Tekakwitha, yang akan menjadi orang suci penduduk asli Amerika pertama; Marianne Cope, seorang biarawati yang bekerja dengan penderita kusta di tempat yang sekarang menjadi negara bagian Hawaii; Giovanni Battista Piamarta, seorang pastor Italia; Jacques Berthieu, seorang pastor Yesuit Perancis dan martir Afrika; Carmen Salles y Barangueras, seorang biarawati asal Spanyol dan pendiri Suster-suster Yang Dikandung Tanpa Noda; Peter Calungsod, seorang katekis awam dan martir dari Filipina; dan Anna Schäffer, yang keinginannya untuk menjadi misionaris tidak terpenuhi karena penyakitnya.[98] Mereka dikanonisasi pada tanggal 21 Oktober 2012.[99]

Pada tanggal 7 Oktober 2012, Benediktus menunjuk Hildegard dari Bingen dan Yohanes dari Ávila sebagai Pujangga Gereja, individu ke-34 dan ke-35 yang diakui dalam sejarah Kekristenan.[100]

Paus Benediktus XVI hanya melakukan sedikit perubahan pada struktur Kuria Romawi. Pada bulan Maret 2006, ia menempatkan Dewan Kepausan untuk Pelayanan Pastoral bagi Para Migran dan Pengungsi dan Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian di bawah satu presiden yang sama, Kardinal Renato Martino. Ketika Martino pensiun pada tahun 2009, setiap dewan kembali menerima presidennya sendiri. Juga pada bulan Maret 2006, Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama digabung sebentar menjadi Dewan Kepausan untuk Kebudayaan di bawah Kardinal Paul Poupard. Dewan-dewan tersebut mempertahankan pejabat dan stafnya masing-masing sementara status dan kompetensi mereka tetap tidak berubah, dan pada bulan Mei 2007, Dialog Antaragama dikembalikan ke status terpisah lagi dengan presidennya sendiri.[101] Pada bulan Juni 2010, Benediktus membentuk Dewan Kepausan untuk Mempromosikan Evangelisasi Baru, dan menunjuk Uskup Agung Rino Fisichella sebagai presiden pertamanya.[102] Pada tanggal 16 Januari 2013, Paus mengalihkan tanggung jawab katekese dari Dikasteri untuk Para Imam kepada Dewan Kepausan untuk Mempromosikan Evangelisasi Baru.[103]

Sebagai Paus, salah satu peran utama Benediktus adalah mengajar tentang iman Katolik dan solusi terhadap permasalahan dalam memahami dan menghayati iman,[104] peran yang dia bisa berperan baik sebagai mantan ketua Kongregasi Ajaran Iman Gereja.

Setelah homili pertamanya sebagai paus, Benediktus merujuk pada Yesus Kristus dan Paus Yohanes Paulus II. Mengutip kata-kata terkenal Paus Yohanes Paulus II, "Jangan takut! Buka lebar-lebar pintu bagi Kristus!", Benedict berkata:

Bukankah kita semua mungkin merasa takut? Jika kita membiarkan Kristus masuk sepenuhnya ke dalam hidup kita, jika kita membuka diri sepenuhnya kepada-Nya, tidakkah kita takut kalau-kalau Dia akan mengambil sesuatu dari kita? ... Dan sekali lagi Paus berkata: Tidak! Jika kita mengizinkan Kristus masuk ke dalam hidup kita, kita tidak akan kehilangan apa pun, tidak kehilangan apa pun, dan sama sekali tidak kehilangan apa pun yang membuat hidup ini bebas, indah, dan hebat. TIDAK! Hanya dalam persahabatan inilah kita mengalami keindahan dan kebebasan. ... Ketika kita menyerahkan diri kita kepada-Nya, kita menerima imbalan seratus kali lipat. Ya, buka, buka lebar-lebar pintu menuju Kristus– dan Anda akan menemukan kehidupan sejati.[105]

"Persahabatan dengan Yesus Kristus" sering menjadi tema khotbah Benediktus.[106][107] Dia menekankan bahwa dalam persahabatan intim ini, "semuanya tergantung".[108] Ia juga mengatakan: "Kita semua dipanggil untuk membuka diri terhadap persahabatan dengan Tuhan ini...berbicara kepada-Nya seperti kepada seorang sahabat, satu-satunya yang dapat membuat dunia menjadi baik dan bahagia... Yang harus kita lakukan adalah menyerahkan diri kita pada kehendak-Nya... adalah pesan yang sangat penting. Ini adalah pesan yang membantu mengatasi apa yang dapat dianggap sebagai godaan besar di zaman kita: klaim bahwa setelah Big Bang, Tuhan menarik diri dari sejarah."[109] Jadi, dalam bukunya Jesus of Nazareth, tujuan utamanya adalah "untuk membantu membina [dalam diri pembaca] pertumbuhan hubungan yang hidup" dengan Yesus Kristus.[108] Ia mengangkat tema ini dalam ensiklik pertamanya Deus caritas est . Dalam penjelasan dan ringkasan ensikliknya, beliau menyatakan: "Jika persahabatan dengan Tuhan menjadi sesuatu yang lebih penting dan menentukan bagi kita, maka kita akan mulai mencintai mereka yang dicintai Tuhan dan yang membutuhkan kita. Tuhan ingin kita menjadi sahabat dari sahabat-sahabat-Nya dan kita dapat menjadi demikian, jika kita dekat secara batiniah dengan mereka."[110] Jadi , dia mengatakan bahwa doa "sangat dibutuhkan... Ini adalah waktu untuk menegaskan kembali pentingnya doa dalam menghadapi aktivisme dan berkembangnya sekularisme dari banyak orang Kristen yang terlibat dalam kegiatan amal."[111]

Melanjutkan apa yang beliau katakan dalam Misa pra-konklaf tentang apa yang sering beliau sebut sebagai "masalah utama iman kita saat ini",[112] pada tanggal 6 Juni 2005, Benediktus juga berkata:

Saat ini, hambatan yang sangat berbahaya terhadap tugas pendidikan adalah kehadiran relativisme secara besar-besaran dalam masyarakat dan budaya kita, yang, dengan tidak mengakui apa pun sebagai hal yang pasti, hanya menyisakan diri dengan keinginannya sebagai kriteria utama. Dan di bawah kebebasan, hal ini menjadi penjara bagi setiap orang, karena hal ini memisahkan orang satu sama lain, mengunci setiap orang ke dalam egonya masing-masing.[113]

Benediktus mengatakan bahwa "kediktatoran relativisme"[114] adalah tantangan utama yang dihadapi Gereja dan umat manusia. Akar permasalahan ini, katanya, adalah “pembatasan nalar” Immanuel Kant. Hal ini, kata dia, bertentangan dengan aklamasi ilmu pengetahuan modern yang keunggulannya bertumpu pada kekuatan nalar untuk mengetahui kebenaran. Ia mengatakan bahwa amputasi nalar ini mengarah pada patologi agama seperti terorisme dan patologi ilmu pengetahuan seperti bencana ekologi.[115] Benediktus menelusuri revolusi-revolusi yang gagal dan ideologi-ideologi kekerasan pada abad ke-20 ke konversi sudut pandang parsial menjadi panduan absolut. Ia berkata, "Memutlakkan apa yang tidak absolut melainkan relatif disebut totalitarianisme."[116]

Dalam diskusi dengan sekularisme dan rasionalisme, salah satu ide dasar Benediktus dapat ditemukan dalam pidatonya tentang "Krisis Kebudayaan" di Barat, sehari sebelum Paus Yohanes Paulus II meninggal, ketika dia menyebut agama Kekristenan sebagai "agama Logos" (bahasa Yunani untuk "kata", "akal", "makna", atau "kecerdasan"). Dia berkata:

Sejak awal, Kekristenan telah memahami dirinya sebagai agama Logos, sebagai agama yang menurut akal ... Kekristenan selalu mendefinisikan manusia, semua manusia tanpa perbedaan, sebagai makhluk dan gambar Tuhan, menyatakan bagi mereka ... martabat yang sama. Dalam hubungan ini, Pencerahan berasal dari Kristiani dan bukan suatu kebetulan bahwa ia lahir secara tepat dan eksklusif dalam wilayah iman Kristiani. ... Merupakan manfaat dari Pencerahan untuk kembali mengusulkan nilai-nilai asli Kekristenan dan memberikan kembali suara mereka kepada akal sehat ... Saat ini, inilah yang seharusnya menjadi kekuatan filosofis [Kekristenan], sejauh masalahnya adalah apakah dunia berasal dari hal-hal yang irasional, dan akal budi tidak lain adalah sebuah 'produk sampingan', bahkan terkadang merugikan perkembangannya – atau apakah dunia berasal dari akal, dan, sebagai konsekuensinya, , kriteria dan tujuannya... Dalam dialog yang sangat penting antara kaum sekuler dan Katolik, kita umat Kristiani harus sangat berhati-hati untuk tetap setia pada garis fundamental ini: menghayati iman yang berasal dari Logos, dari alasan yang kreatif, dan oleh karena itu, saya juga terbuka terhadap semua hal yang benar-benar rasional.[117]

Benediktus menulis tiga ensiklik: Deus caritas est (bahasa Latin untuk "Tuhan adalah Kasih"), Spe salvi ("Diselamatkan oleh Harapan"), dan Caritas in veritate ("Cinta dalam Kebenaran").

Dalam ensiklik pertamanya, Deus caritas est, ia mengatakan bahwa manusia, yang diciptakan menurut gambar Tuhan yang adalah cinta, dapat mengamalkan cinta: memberikan dirinya kepada Tuhan dan orang lain (agape) dengan menerima dan mengalami kasih Tuhan dalam kontemplasi. Kehidupan cinta ini, menurutnya, adalah kehidupan orang-orang kudus seperti Teresa dari Kalkuta dan Perawan Maria yang Terberkati, dan merupakan arahan umat Kristiani. ambil ketika mereka percaya bahwa Tuhan mengasihi mereka di dalam Yesus Kristus.[118] Ensiklik ini berisi hampir 16.000 kata dalam 42 paragraf . Paruh pertama konon ditulis oleh Benediktus dalam bahasa Jerman, bahasa pertamanya, pada musim panas 2005; bagian kedua berasal dari tulisan yang belum selesai yang ditinggalkan oleh pendahulunya, Paus Yohanes Paulus II.[119] Dokumen tersebut ditandatangani oleh Benediktus pada Hari Natal, 25 Desember 2005.[120] Ensiklik tersebut diumumkan sebulan kemudian dalam bahasa Latin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Polandia, Portugis, dan Spanyol. Ini adalah ensiklik pertama yang diterbitkan sejak Vatikan memutuskan untuk menegaskan hak cipta dalam tulisan resmi Paus.[121]

Ensiklik kedua Benediktus berjudul Spe Salvi ("Diselamatkan oleh Harapan"), tentang keutamaan harapan, dirilis pada tanggal 30 November 2007.[122][123]

Ensiklik ketiganya berjudul Caritas in veritate ("Cinta dalam Kebenaran" atau "Amal dalam Kebenaran"), ditandatangani pada tanggal 29 Juni 2009 (Pesta Santo Petrus dan Paulus) dan dirilis pada tanggal 7 Juli 2009.[124] Di dalamnya, Paus melanjutkan ajaran Gereja tentang keadilan sosial. Ia mengutuk sistem ekonomi yang lazim “di mana dampak buruk dosa terlihat jelas,” dan menyerukan masyarakat untuk menemukan kembali etika dalam hubungan bisnis dan ekonomi.[124]

Pada saat pengunduran dirinya, Benediktus telah menyelesaikan rancangan ensiklik keempat yang berjudul Lumen fidei (“Cahaya Iman”),[125] bermaksud menemani dua ensiklik pertamanya untuk menyelesaikan trilogi tentang tiga kebajikan teologis dari iman, harapan , dan cinta. Penerus Benediktus, Paus Fransiskus, menyelesaikan dan menerbitkan Lumen Fidei pada bulan Juni 2013, empat bulan setelah pensiunnya Benediktus dan suksesi Fransiskus. Meskipun ensiklik ini secara resmi merupakan karya Fransiskus, paragraf 7 ensiklik tersebut secara eksplisit mengungkapkan utang Fransiskus kepada Benediktus: "Pertimbangan-pertimbangan mengenai iman ini – yang merupakan kelanjutan dari semua yang magisterium Gereja telah nyatakan mengenai kebajikan teologis ini – dimaksudkan untuk melengkapi apa yang ditulis Benediktus XVI dalam surat ensikliknya tentang amal dan harapan. Dia sendiri hampir menyelesaikan draf pertama ensiklik tentang iman. Untuk ini saya sangat berterima kasih padanya, dan sebagai saudaranya di dalam Kristus, saya telah melakukan pekerjaan bagusnya dan menambahkan beberapa kontribusi saya sendiri."[126]

Sacramentum caritatis (Sakramen Amal), ditandatangani 22 Februari 2007, dirilis dalam bahasa Latin, Italia, Inggris, Prancis, Jerman, Portugis, Spanyol, dan Polandia. Nasihat apostolik ini tersedia dalam berbagai bahasa pada 13 Maret 2007 di Roma. Libera Editrice Vaticana edisi bahasa Inggris setebal 158 halaman. nasihat apostolik ini "berusaha untuk memanfaatkan kekayaan dan keragaman refleksi dan proposal yang muncul dari Sidang Umum Biasa Sinode Para Uskup" yang diadakan pada tahun 2006.[127]

Pada tanggal 7 Juli 2007, Benediktus mengeluarkan motu proprio Summorum Pontificum, yang menyatakan bahwa atas "permintaan umat beriman", perayaan Misa menurut Misa 1962 (dari Misa Tridentina), agar lebih mudah diizinkan. Kelompok stabil yang sebelumnya harus mengajukan petisi kepada uskup mereka untuk menyelenggarakan Misa Tridentina, kini hanya dapat meminta izin dari pastor setempat.[128] Sementara Summorum Pontificum mengarahkan bahwa para pastor harus menyediakan Misa Tridentina pada sesuai dengan permintaan umat, hal ini juga memungkinkan bagi imam mana pun yang memenuhi syarat untuk mengadakan perayaan pribadi Misa Tridentina, yang mana umat beriman dapat diterima jika mereka menginginkannya.[129] Untuk perayaan publik yang dijadwalkan secara rutin pada Hari Raya Misa Tridentin, diperlukan izin dari imam yang memimpin gereja.[130]

Dalam surat yang menyertainya, Paus Benediktus XVI menguraikan posisinya mengenai pertanyaan tentang pedoman baru tersebut.[129] Karena ada kekhawatiran bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan pembalikan Konsili Vatikan Kedua,[131] Benediktus menekankan bahwa Misa Tridentina tidak akan mengalihkan perhatian dari konsili dan bahwa Misa Paulus VI akan tetap diadakan norma dan para imam tidak diperbolehkan menolak Misa dalam bentuk itu. Ia menyatakan bahwa penggunaan Misa Tridentina "tidak pernah dibatalkan secara yuridis dan, oleh karena itu, pada prinsipnya, selalu diizinkan."[129] Surat tersebut juga mengecam "deformasi liturgi . .. karena di banyak tempat perayaan tidak sesuai dengan resep Misale yang baru" karena Konsili Vatikan Kedua secara keliru dipandang "sebagai otorisasi atau bahkan memerlukan kreativitas", dengan menyebutkan pengalamannya sendiri.[129]

Paus Benediktus XVI berpendapat bahwa memperbolehkan Misa Tridentina bagi mereka yang memintanya adalah cara untuk mencegah atau menyembuhkan perpecahan, dengan menyatakan bahwa, dalam beberapa peristiwa dalam sejarah, "tidak cukup banyak yang dilakukan oleh para pemimpin Gereja untuk mempertahankan atau mendapatkan kembali rekonsiliasi dan persatuan." " dan bahwa hal ini "membebankan kewajiban pada kita saat ini: melakukan segala upaya untuk memungkinkan semua orang yang benar-benar menginginkan persatuan tetap berada dalam kesatuan itu atau mencapainya lagi."[129] Kardinal Darío Castrillón Hoyos, presiden Komisi Kepausan yang dibentuk untuk memfasilitasi persekutuan gerejawi penuh dari mereka yang terkait dengan Serikat tersebut,[132] menyatakan bahwa dekrit tersebut “membuka pintu bagi kepulangan mereka”. Uskup Bernard Fellay, pemimpin umum SSPX, menyatakan "terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Paus atas manfaat spiritual yang besar ini".[128]

Pada bulan Juli 2021, Paus Fransiskus mengeluarkan surat apostolik berjudul Traditionis custodes, yang secara substansial membatalkan keputusan Benediktus XVI di Summorum Pontificum dan memberlakukan pembatasan baru dan luas pada penggunaan Misa Latin Tradisional. Keputusan tersebut kontroversial dan banyak dikritik oleh kalangan konservatif dan Kaum Katolik Tradisionalis karena dianggap kurang memberikan kasih sayang dan merupakan serangan terhadap mereka yang terikat pada warisan liturgi Gereja.[133][134]

Menjelang akhir bulan Juni 2007, Kongregasi Ajaran Iman mengeluarkan dokumen yang disetujui oleh Benediktus XVI "karena beberapa penafsiran teologis kontemporer mengenai maksud ekumenis Vatikan II telah dilanggar 'salah atau ambigu' dan telah menimbulkan kebingungan dan keraguan." Dokumen tersebut dipandang sebagai pernyataan ulang "bagian-bagian penting dari teks tahun 2000 yang ditulis Paus ketika ia menjadi prefek kongregasi, Dominus Iesus."[135]

Paus Benediktus mengutuk konsumerisme yang berlebihan, terutama di kalangan generasi muda. Ia menyatakan pada bulan Desember 2007 bahwa "seorang remaja, pemuda dan bahkan anak-anak adalah korban mudah korupsi cinta, ditipu oleh orang dewasa yang tidak bermoral yang berbohong kepada diri mereka sendiri dan kepada mereka, menarik mereka ke jalan buntu konsumerisme." [136] Pada bulan Juni 2009, ia menyalahkan outsourcing atas ketersediaan barang-barang konsumen yang lebih besar sehingga menyebabkan perampingan sistem jaminan sosial.[137]

Berbicara pada audiensi mingguannya di Lapangan Santo Petrus pada tanggal 7 Juni 2006, Benediktus menegaskan bahwa Yesus sendiri telah mempercayakan kepemimpinan Gereja kepada rasulnya Petrus. “Tanggung jawab Petrus adalah menjamin persekutuan dengan Kristus. Marilah kita berdoa agar Keutamaan Petrus, yang dipercayakan kepada umat manusia yang miskin, dapat selalu dilaksanakan dalam pengertian asali yang dikehendaki Tuhan, sehingga hal itu akan terwujud. semakin dikenal dalam arti sebenarnya oleh saudara-saudara yang masih belum berada dalam komuni bersama kita."[138]

Juga pada tahun 2006, Benediktus bertemu dengan Uskup Agung Anglikan bagi Canterbury, Rowan Williams. Dalam Deklarasi Bersama, mereka menyoroti dialog antara umat Katolik dan Anglikan selama 40 tahun sebelumnya dan juga mengakui adanya "hambatan serius bagi kemajuan ekumenis kita".[139]

Pada tanggal 4 November 2009, sebagai tanggapan terhadap petisi tahun 2007 oleh Gereja Anglikan Tradisional, Benediktus mengeluarkan konstitusi apostolik Anglicanorum coetibus, yang mengizinkan pembentukan "Ordinariat Pribadi bagi umat Anglikan yang memasuki persekutuan penuh."[140][141] Antara tahun 2011 dan 2012, tiga ordinariat didirikan, saat ini berjumlah 9090 anggota, 194 imam, dan 94 paroki.[142][143][144]

Ketika Benediktus naik ke jabatan kepausan, pemilihannya disambut oleh Liga Anti-Pencemaran Nama Baik yang mencatat "kepekaan besarnya terhadap sejarah Yahudi dan Holocaust".[145] Namun, pemilihannya mendapat tanggapan yang lebih tertutup dari Kepala Rabi Inggris Jonathan Sacks, yang berharap Benediktus akan "melanjutkan jejak Paus Yohanes XXIII dan Paus Yohanes Paulus II dalam berupaya meningkatkan hubungan dengan orang-orang Yahudi dan Negara Israel. "[146] Menteri luar negeri Israel Silvan Shalom juga memberikan pujian tentatif, meskipun Shalom percaya bahwa "Paus ini, mengingat pengalaman sejarahnya, akan secara khusus berkomitmen pada perjuangan tanpa kompromi melawan anti-Semitisme."[146]

Kritikus menuduh kepausan Benediktus tidak peka terhadap Yudaisme. Dua contoh yang paling menonjol adalah perluasan penggunaan Misa Tridentina dan pencabutan ekskomunikasi terhadap empat uskup dari Serikat Santo Pius X (SSPX). Dalam Misa Jumat Agung, rubrik Misa Tridentina memuat doa yang memohon agar Tuhan membuka tabir agar mereka [Yahudi] dapat dibebaskan dari kegelapan mereka. Doa ini secara historis menjadi perdebatan dalam Hubungan Yudaisme-Katolik dan beberapa kelompok memandang restorasi Misa Tridentin sebagai suatu masalah.[147][148][149][150][151] Di antara mereka yang ekskomunikasinya dicabut adalah Uskup Richard Williamson, seorang revisionis sejarah terkadang ditafsirkan sebagai Penyangkal Holocaust.[152][153][154][155] Pencabutan ekskomunikasi menyebabkan para kritikus menuduh bahwa Paus memaafkan pandangan revisionis sejarahnya.[156]

Hubungan Benediktus dengan Islam terkadang tegang. Pada 12 September 2006, ia menyampaikan kuliah yang menyentuh tentang Islam di Universitas Regensburg di Jerman. Ia pernah bertugas di sana sebagai profesor teologi sebelum menjadi Paus, dan ceramahnya bertajuk "Iman, Nalar, dan Universitas-Kenangan dan Refleksi". Ceramah tersebut mendapat banyak perhatian dari otoritas politik dan agama. Banyak politisi Islam dan pemimpin agama menyatakan protes mereka terhadap apa yang mereka sebut sebagai kesalahan karakterisasi Islam yang menghina, meskipun fokusnya ditujukan pada rasionalitas kekerasan agama, dan dampaknya terhadap agama.[157][158] Umat Islam khususnya tersinggung dengan kutipan yang Paus kutip dalam pidatonya: "Tunjukkan kepadaku apa yang dibawa Muhammad yang merupakan hal baru dan di sana Anda hanya akan menemukan hal-hal yang jahat dan tidak manusiawi, seperti perintahnya untuk menyebarkan agama yang ia khotbahkan dengan pedang."[158]

Bagian ini pertama kali muncul dalam Dialog yang Diadakan dengan Orang Persia Tertentu, Orang-Orang yang Patut Dimuterisasi, di Anakara di Galatia[159] ditulis pada tahun 1391 sebagai ekspresi pandangan kaisar Bizantium Manuel II Paleologus, salah satu penguasa Kristen terakhir sebelum Jatuhnya Konstantinopel ke tangan Kekaisaran Ottoman Muslim, mengenai isu-isu seperti pindah agama paksa, perang suci, dan hubungan antara iman dan akal. Menurut teks bahasa Jerman, komentar awal Paus adalah bahwa kaisar "menyebut lawan bicaranya dengan cara yang sangat kasar bagi kami, sangat kasar caranya" (wendet er sich in erstaunlich schroffer, uns überraschend Formulir Schroffer).[160] Benediktus meminta maaf atas segala pelanggaran yang telah ia timbulkan dan memutuskan untuk mengunjungi Turki, sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, dan berdoa di Masjid Biru. Benediktus berencana pada tanggal 5 Maret 2008 untuk bertemu dengan cendekiawan Muslim dan pemimpin agama pada musim gugur 2008 di seminar Katolik-Muslim di Roma.[161] Pertemuan itu, "Pertemuan Pertama Forum Katolik-Muslim," diadakan pada tanggal 4–6 November 2008.[162] Pada tanggal 9 Mei 2009, Benediktus mengunjungi Masjid Raja Hussein di Amman, Yordania di mana ia disambut oleh Pangeran Ghazi bin Muhammad.[163]

Dalai Lama mengucapkan selamat kepada Paus Benediktus XVI atas terpilihnya dia,[164] dan mengunjunginya pada bulan Oktober 2006 di Kota Vatikan. Pada tahun 2007, Republik Rakyat Tiongkok dituduh menggunakan pengaruh politiknya untuk menghentikan pertemuan antara Paus dan Dalai Lama.[165]

Saat mengunjungi Brasil pada bulan Mei 2007, "Paus memicu kontroversi dengan mengatakan bahwa penduduk asli 'secara diam-diam merindukan' iman Kristen yang dibawa ke Amerika Selatan oleh penjajah."[166] Paus melanjutkan dengan menyatakan bahwa "proklamasi Yesus dan Injilnya sama sekali tidak melibatkan alienasi budaya pra-Columbus, juga bukan pemaksaan budaya asing."[166] Presiden Venezuela Hugo Chávez menuntut permintaan maaf, dan sebuah organisasi masyarakat adat di Ekuador mengeluarkan tanggapan yang menyatakan bahwa "perwakilan Gereja Katolik pada masa itu, dengan pengecualian yang terhormat, adalah kaki tangan, penipu dan penerima manfaat dari salah satu genosida paling mengerikan yang pernah terjadi." kemanusiaan."[166] Belakangan, Paus, yang berbicara dalam bahasa Italia, mengatakan pada audiensi mingguan bahwa "tidak mungkin melupakan penderitaan dan ketidakadilan yang ditimbulkan oleh penjajah terhadap penduduk asli, yang hak asasinya adalah hak asasi manusia." sering diinjak-injak" namun tidak meminta maaf.[167]

Saat mengunjungi Amerika Serikat pada 17 April 2008, Benediktus bertemu dengan perwakilan Masyarakat Internasional untuk Kesadaran Krishna Radhika Ramana Dasa,[168] seorang sarjana Hindu terkemuka[169] dan murid Hanumatpreshaka Swami.[170] Atas nama komunitas Hindu Amerika, Radhika Ramana Dasa menyajikan sebuah hadiah simbol Om kepada Benediktus.[171][172]

Sebagai Paus, Benediktus melakukan banyak kegiatan Apostolik termasuk perjalanan keliling dunia dan di Vatikan.

Benediktus sering bepergian selama tiga tahun pertama masa kepausannya. Selain perjalanannya di Italia, ia melakukan dua kunjungan ke tanah airnya, Jerman, satu untuk Hari Orang Muda Sedunia dan satu lagi untuk mengunjungi kota-kota masa kecilnya. Dia juga mengunjungi Polandia dan Spanyol, di mana dia diterima dengan antusias.[173] Kunjungannya ke Turki, negara berpenduduk mayoritas Muslim, awalnya dibayangi oleh kontroversi mengenai ceramah yang ia berikan di Regensburg. Kunjungannya disambut oleh pengunjuk rasa nasionalis dan Islam[174] dan ditempatkan di bawah tindakan keamanan yang belum pernah terjadi sebelumnya.[175] Benediktus membuat deklarasi bersama dengan Patriark Ekumenis Bartholomeus I dalam upaya untuk memulai penyembuhan keretakan antara gereja Katolik dan gereja Ortodoks Timur.[176]

Pada tahun 2007, Benediktus mengunjungi Brasil untuk berpidato di Konferensi Waligereja di sana dan mengkanonisasi Friar Antônio Galvão, Fransiskan abad ke-18. Pada bulan Juni 2007, Benediktus melakukan ziarah pribadi dan kunjungan pastoral ke Assisi, tempat kelahiran St. Fransiskus. Pada bulan September, Benediktus melakukan kunjungan tiga hari ke Austria,[177] di mana ia bergabung dengan kepala rabi Wina, Paul Chaim Eisenberg, dalam peringatan 65.000 Yahudi Wina yang tewas di kamp kematian Nazi.[178] Selama berada di Austria, ia juga merayakannya Misa di kuil Maria Mariazell dan mengunjungi Biara Heiligenkreuz.[179]

Pada bulan April 2008, Benediktus melakukan kunjungan pertama ke Amerika Serikat pada tahun 2008 sejak menjadi Paus.[180] Ia tiba di Washington, D.C., di mana ia diterima secara resmi di Gedung Putih dan bertemu secara pribadi dengan Presiden AS George W. Bush.[181] Saat berada di Washington, Paus berpidato di depan perwakilan universitas-universitas Katolik AS, bertemu dengan para pemimpin agama dunia lainnya, dan merayakan Misa di Washington Nationals' stadion bisbol dengan 47.000 orang.[182] Paus juga bertemu secara pribadi dengan para korban pelecehan seksual yang dilakukan para pastor. Paus melakukan perjalanan ke Kota New York di mana ia berpidato di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.[183] Juga saat berada di New York, Paus merayakan Misa di Katedral Santo Patrick, bertemu dengan anak-anak penyandang disabilitas dan keluarga mereka, dan menghadiri sebuah acara untuk remaja Katolik, di mana ia berbicara kepada sekitar 25.000 remaja yang hadir.[184] Pada hari terakhir kunjungan Paus, dia mengunjungi situs World Trade Center dan kemudian merayakan Misa di Stadion Yankee.[185]

Pada bulan Juli 2008, Paus melakukan perjalanan ke Australia untuk menghadiri Hari Orang Muda Sedunia 2008 di Sydney. Pada tanggal 19 Juli, di Katedral Santa Maria, ia menyampaikan permintaan maaf atas pelecehan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh pastor di Australia.[186][187] Pada tanggal 13 September 2008, pada Misa di luar ruangan di Paris yang dihadiri oleh 250.000 orang, Benediktus mengutuk materialisme – kecintaan dunia terhadap kekuasaan, harta benda, dan uang sebagai wabah zaman modern, membandingkannya dengan paganisme.[188][189] Pada tahun 2009, ia mengunjungi Afrika (Kamerun dan Angola) untuk pertama kalinya sebagai paus. Selama kunjungannya, ia menyarankan bahwa mengubah perilaku seksual adalah jawaban terhadap krisis AIDS di Afrika dan mendesak umat Katolik untuk menjangkau dan mengubah penganut sihir.[190] Ia mengunjungi Timur Tengah (Yordania, Israel, dan Palestina) pada Mei 2009.

Arena utama kegiatan pastoral Benediktus adalah Vatikan sendiri, homili Natal dan Paskah serta Urbi et Orbi disampaikan dari Basilika Santo Petrus. Vatikan juga merupakan satu-satunya tempat biasa di mana Benediktus melakukan perjalanan dengan motor tanpa pelindung antipeluru yang umum terdapat pada kebanyakan mobil paus. Meskipun suasananya lebih aman, Benediktus beberapa kali menjadi korban risiko keamanan di dalam Kota Vatikan. Pada hari Rabu, 6 Juni 2007, saat Audiensi Umum, seorang pria melompati penghalang, menghindari penjaga, dan hampir menaiki kendaraan Paus, meskipun dia dihentikan dan Benediktus tampaknya tidak mengetahui kejadian tersebut. Pada hari Kamis, 24 Desember 2009, ketika Benediktus sedang menuju altar untuk merayakan Misa Malam Natal di Basilika Santo Petrus, seorang wanita yang kemudian diidentifikasi sebagai Susanna Maiolo berusia 25 tahun, yang memegang kewarganegaraan Italia dan Swiss, melompat penghalang dan mencengkeram rompi Paus dan menariknya ke tanah. Benediktus yang berusia 82 tahun terjatuh tetapi dibantu untuk berdiri dan dia terus berjalan menuju altar untuk merayakan Misa. Roger Etchegaray, wakil dekan Kolese Kardinal, juga terjatuh dan menderita cedera pinggul. patah. Polisi Italia melaporkan bahwa Maiolo pernah mencoba untuk menyapa Benediktus pada Misa Malam Natal sebelumnya, namun dicegah untuk melakukannya.[191][192]

Dalam homilinya, Benediktus memaafkan Susanna Maiolo[193] dan mendesak dunia untuk "bangun" dari keegoisan dan urusan remeh, serta meluangkan waktu untuk Tuhan dan hal-hal spiritual.[191]

Antara tanggal 17 dan 18 April 2010, Benediktus melakukan Perjalanan Apostolik ke Republik Malta. Setelah pertemuan dengan berbagai pejabat pada hari pertamanya di pulau itu, 50.000 orang berkumpul dalam gerimis untuk Misa Kepausan di lumbung di Floriana. Paus juga bertemu dengan pemuda Malta di Valletta Waterfront, di mana sekitar 10.000 pemuda muncul untuk menyambutnya.[194]

Sebelum tahun 2001, tanggung jawab utama untuk menyelidiki tuduhan pelecehan seksual dan mendisiplinkan para pelaku berada di tangan masing-masing keuskupan. Pada tahun 2001, Ratzinger meyakinkan Paus Yohanes Paulus II untuk menugaskan Kongregasi Ajaran Iman untuk bertanggung jawab atas semua investigasi pelecehan seksual.[195][196] Menurut John L. Allen Jr., Ratzinger sebagai berikut tahun "memperoleh pemahaman terhadap kontur masalah yang hampir tidak dapat diklaim oleh tokoh lain dalam Gereja Katolik. Didorong oleh perjumpaan dengan apa yang kemudian disebutnya sebagai 'kotoran' dalam Gereja, Ratzinger tampaknya telah mengalami sesuatu yang 'pengalaman pertobatan' sepanjang tahun 2003–04. Sejak saat itu, dia dan stafnya tampaknya didorong oleh semangat orang yang berpindah agama untuk membereskan kekacauan ini."[197]

Kardinal Vincent Nichols menulis bahwa dalam perannya sebagai kepala CDF "[Ratzinger] memimpin perubahan penting yang dibuat dalam hukum gereja: dimasukkannya pelanggaran internet terhadap anak-anak ke dalam hukum kanon, perluasan pelanggaran pelecehan anak hingga mencakup kejahatan seksual pelecehan terhadap semua anak di bawah 18 tahun, pengabaian status pembatasan kasus per kasus, dan penetapan pemecatan jalur cepat dari negara bagian klerikal bagi pelanggar."[198] Menurut Charles J. Scicluna, mantan jaksa yang menangani kasus pelecehan seksual, "Kardinal Ratzinger menunjukkan kebijaksanaan yang luar biasa dan ketegasan dalam menangani kasus-kasus tersebut, juga menunjukkan keberanian yang besar dalam menghadapi beberapa kasus yang paling sulit dan pelik, sine acceptione personarum [tanpa menghormati orang]".[199] Menurut Kardinal Christoph Schönborn, Ratzinger "melakukan upaya yang jelas untuk tidak menutup-nutupi namun untuk menangani dan menyelidikinya. Hal ini tidak selalu mendapat persetujuan di Vatikan".[195][200] Ratzinger telah mendesak Yohanes Paulus II untuk menyelidiki Hans Hermann Groër, seorang kardinal Austria dan teman John Paul yang dituduh melakukan pelecehan seksual, yang mengakibatkan pengunduran diri Groër.[201]

Pada bulan Maret 2010, Benediktus mengirimkan surat pastoral kepada Gereja Katolik di Irlandia yang membahas kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pastor di bawah umur, mengungkapkan kesedihan dan menjanjikan perubahan dalam cara menangani tuduhan pelecehan.[202] Kelompok korban mengklaim surat tersebut gagal menjelaskan apakah penegakan hukum sekuler memiliki prioritas di atas kerahasiaan hukum kanon mengenai penyelidikan internal atas tuduhan pelecehan.[203][204][205] Paus kemudian berjanji untuk memperkenalkan langkah-langkah yang akan "melindungi generasi muda di masa depan" dan " mengadili" para pastor yang bertanggung jawab atas pelecehan dan bulan berikutnya Vatikan mengeluarkan pedoman tentang bagaimana hukum gereja yang ada harus diterapkan. Pedoman tersebut menegaskan bahwa "Hukum perdata mengenai pelaporan kejahatan... harus selalu dipatuhi."[206][207]

Meskipun lebih proaktif dibandingkan pendahulunya dalam menangani pelecehan seksual, Benediktus tetap disebut-sebut gagal melakukan hal tersebut lebih dari satu kali. Pada bulan Januari 2022, sebuah laporan yang ditulis oleh firma hukum Jerman Westpfahl Spilker Wastl dan ditugaskan oleh Gereja Katolik menyimpulkan bahwa Kardinal Ratzinger gagal mengambil tindakan yang memadai terhadap para ulama dalam empat kasus dugaan pelecehan ketika ia menjadi Uskup Agung Munich dan Freising dari tahun 1977 hingga 1982. Paus emeritus membantah tuduhan tersebut.[208][209][210] Benediktus mengoreksi pernyataan sebelumnya bahwa dia tidak menghadiri pertemuan ordinariat Keuskupan Agung Munich dan Freising pada bulan Januari 1980, dengan mengatakan bahwa dia secara keliru memberi tahu penyelidik Jerman dia tidak ada di sana. Namun, kesalahan tersebut "bukan dilakukan karena itikad buruk", melainkan "akibat kesalahan dalam proses editorial" pernyataannya. Menurut Reuters, pengacara Martin Pusch mengatakan bahwa "dari total empat kasus, kami sampai pada kesimpulan bahwa Uskup Agung Kardinal Ratzinger saat itu dapat dituduh melakukan pelanggaran dalam kasus pelecehan seksual."[211][212]

Pada Februari 2022, Benediktus mengakui adanya kesalahan dalam menangani kasus pelecehan seksual ketika ia menjabat sebagai Uskup Agung Munich. Menurut surat yang dikeluarkan oleh Vatikan, dia meminta pengampunan atas “kesalahan serius” tetapi membantah melakukan kesalahan pribadi. Benedict menyatakan: "Saya mempunyai tanggung jawab besar di Gereja Katolik. Yang lebih besar lagi adalah rasa sakit saya atas pelanggaran dan kesalahan yang terjadi di berbagai tempat selama masa mandat saya."[213] Kantor kejaksaan di Munich telah memulai penyelidikan sebagai hasil dari laporan tahun 2022 terhadap Benediktus dan Kardinal Friedrich Wetter. Investigasi "dihentikan" pada bulan Maret 2023 setelah "tidak cukup mengungkapkan kecurigaan adanya aktivitas kriminal". bukan tindakan pelecehan yang dilakukan oleh manajer personalia Gereja itu sendiri, namun kemungkinan tindakan membantu dan bersekongkol dengan tindakan aktif atau kelalaian".[214]

Salah satu kasus yang ditangani Ratzinger melibatkan Marcial Maciel, seorang pastor Meksiko dan pendiri Legionaries of Christ yang telah berulang kali dituduh melakukan pelecehan seksual. Penulis biografi Andrea Tornielli menyatakan bahwa Kardinal Ratzinger ingin mengambil tindakan terhadap Maciel tetapi Yohanes Paulus II dan pejabat tinggi lainnya, termasuk beberapa kardinal dan sekretaris Paus yang berpengaruh Stanisław Dziwisz, mencegahnya melakukan hal tersebut. jadi.[196][215]

Menurut Jason Berry, Kardinal Angelo Sodano "menekan" Ratzinger, yang "beroperasi dengan asumsi bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar", untuk menghentikan proses terhadap Maciel pada tahun 1999.[216] Ketika Maciel dihormati oleh Paus pada tahun 2004, muncul penuduh baru[216] dan Kardinal Ratzinger "mengambil keputusan sendiri untuk mengizinkan penyelidikan terhadap Maciel".[196] Setelah Ratzinger menjadi paus, dia memulai proses hukum terhadap Maciel dan Legiun Kristus yang memaksa Maciel keluar dari pelayanan aktif di Gereja .[195] Pada tanggal 1 Mei 2010, Vatikan mengeluarkan pernyataan yang mengecam "perilaku paling serius dan secara obyektif tidak bermoral dari Pastor Maciel, yang dikonfirmasi oleh para saksi yang tidak dapat disangkal, yang merupakan kejahatan nyata dan menunjukkan hilangnya nyawa ketelitian dan perasaan keagamaan yang autentik."[217]

Pada bulan November 2020, Vatikan menerbitkan laporan yang menyalahkan Paus Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI karena mengizinkan mantan kardinal Theodore McCarrick yang dipecat untuk naik kekuasaan meskipun mereka berdua mengetahui hal tersebut tuduhan pelecehan seksual terhadapnya.[218][219] Terlepas dari kenyataan bahwa Benediktus menekan McCarrick untuk mengundurkan diri sebagai Uskup Agung Washington D.C. pada tahun 2006, McCarrick tetap sangat aktif dalam pelayanan selama masa kepausan Benediktus dan bahkan tampil di depan umum ketika ia memimpin upacara pemakaman senator AS Ted Kennedy di Pemakaman Nasional Arlington pada tahun 2009.[218][219][220]

Pada tahun 2019, Benediktus merilis surat berisi 6.000 kata yang mengaitkan krisis pelecehan seksual di Gereja dengan erosi moralitas yang didorong oleh sekularisasi dan revolusi seksual tahun 1960-an.[221] Surat itu sangat kontras dengan sudut pandang penggantinya, Paus Fransiskus, yang melihat masalah ini sebagai produk sampingan dari penyalahgunaan kekuasaan dalam struktur hierarki Gereja.[221] The New York Times kemudian melaporkan bahwa "mengingat kelemahannya namun, banyak pengamat gereja mempertanyakan apakah Benediktus memang menulis surat itu atau telah dimanipulasi untuk menerbitkannya sebagai cara untuk melemahkan Paus Fransiskus."[222]

Setelah kematian Benediktus, upayanya untuk memerangi pelecehan seksual di Gereja dikenang dengan reaksi beragam, khususnya oleh kelompok korban. Francesco Zanardi, pendiri kelompok korban Italia Rete l'Abuso menyatakan bahwa "Ratzinger kurang komunikatif dibandingkan Paus Fransiskus tetapi dia bergerak" ke arah yang benar, dan bahwa dia adalah Paus pertama yang secara efektif melakukan hal tersebut.[223] Anne Barrett Doyle, salah satu direktur BishopAccountability.org, sebuah kelompok advokasi dan penelitian, mengatakan bahwa Benediktus akan "dikenang terutama karena kegagalannya mencapai apa yang seharusnya menjadi tugasnya: untuk memperbaiki kerugian yang tak terhitung banyaknya yang menimpa ratusan ribu anak-anak yang mengalami pelecehan seksual oleh para pastor Katolik."[223] Ia menyatakan bahwa masa jabatannya telah "meninggalkan ratusan uskup yang bersalah dalam kekuasaan dan budaya kerahasiaan tetap utuh ," sementara Jaringan Penyintas dari Mereka yang Disalahgunakan oleh Para Imam mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa "Benediktus lebih khawatir tentang memburuknya citra gereja dan aliran keuangan ke hierarki dibandingkan dengan memahami konsep permintaan maaf yang benar yang diikuti dengan perbaikan yang benar terhadap para korban. penyalahgunaan".[223]

Benediktus memperkenalkan kembali beberapa pakaian kepausan yang sudah tidak digunakan lagi. Dia melanjutkan penggunaan sepatu kepausan merah tradisional, yang telah digunakan sejak zaman Romawi oleh para paus tetapi tidak lagi digunakan pada masa kepausan Yohanes Paulus II. Bertentangan dengan spekulasi awal pers bahwa sepatu tersebut dibuat oleh rumah mode Italia Prada, Vatikan mengumumkan bahwa sepatu tersebut disediakan oleh pembuat sepatu pribadi Paus.[224]

Jurnalis Charlotte Allen menggambarkan Benediktus sebagai "paus estetik": "Dia telah mengingatkan dunia yang terlihat semakin jelek dan direndahkan bahwa ada hal-hal yang indah – baik itu diwujudkan dalam sonata atau altar atau sulaman atau potongan jubah dan keindahan duniawi itu pada akhirnya menyampaikan keindahan yang melampaui hal-hal duniawi."[16]

Sebelum terpilih sebagai Paus pada tahun 2005, Ratzinger berharap untuk pensiun karena masalah kesehatan yang berkaitan dengan usia, keinginan lama untuk memiliki waktu luang untuk menulis, dan usia pensiun bagi para uskup (75) dan mengajukan pengunduran dirinya sebagai Prefek Kongregasi Ajaran Iman sebanyak tiga kali, namun tetap melanjutkan jabatannya karena mematuhi keinginan Yohanes Paulus II. Pada bulan September 1991, Ratzinger menderita pendarahan, yang sedikit mengganggu penglihatannya untuk sementara namun ia pulih sepenuhnya.[225] Hal ini tidak pernah dipublikasikan secara resmi – berita resminya dia terjatuh dan terbentur kepalanya menghadap radiator – tetapi merupakan rahasia umum yang diketahui oleh konklaf yang memilihnya sebagai paus.[226]

Setelah pemilihannya pada bulan April 2005 terdapat beberapa rumor tentang kesehatan Paus, namun tidak satupun yang terkonfirmasi. Pada awal masa kepausannya, Benediktus meramalkan masa pemerintahannya yang singkat, sehingga menimbulkan kekhawatiran mengenai kesehatannya.[227] Pada bulan Mei 2005 Vatikan mengumumkan bahwa dia kembali menderita stroke ringan. Kardinal Perancis Philippe Barbarin mengatakan bahwa sejak stroke pertama Ratzinger menderita penyakit jantung yang berkaitan dengan usia, dan ia harus menjalani pengobatan. Pada akhir bulan November 2006, orang dalam Vatikan mengatakan kepada pers internasional bahwa Paus telah menjalani pemeriksaan jantung rutin.[226] Beberapa hari kemudian muncul rumor yang belum dapat dikonfirmasi bahwa Benediktus telah menjalani operasi di persiapan untuk operasi bypass, namun rumor ini hanya dipublikasikan oleh surat kabar kecil sayap kiri Italia dan tidak pernah dikonfirmasi oleh orang dalam Vatikan mana pun.[228]

Pada 17 Juli 2009, Benediktus dirawat di rumah sakit setelah jatuh dan pergelangan tangan kanannya patah saat berlibur di Pegunungan Alpen; luka-lukanya dilaporkan ringan.[229]

Setelah pengumuman pengunduran dirinya, Vatikan mengungkapkan bahwa Benediktus telah dipasangi alat pacu jantung ketika ia masih menjadi kardinal, sebelum ia terpilih sebagai Paus pada tahun 2005. Baterai pada alat pacu jantung tersebut telah diganti tiga bulan sebelumnya, sebuah prosedur rutin, namun hal itu tidak memengaruhi keputusannya.[230]

Pada tanggal 11 Februari 2013, Vatikan mengkonfirmasi bahwa Paus Benediktus XVI akan mengundurkan diri dari kepausan pada tanggal 28 Februari 2013, karena usianya yang sudah lanjut,[231] menjadi paus pertama untuk mengundurkan diri sejak Paus Gregorius XII pada tahun 1415.[232] Pada umur 85 tahun 318 hari pada tanggal efektif setelah pensiun, dia adalah orang tertua keempat yang memegang jabatan paus. Tindakan ini tidak terduga,[233] karena semua Paus di zaman modern menjabat sampai kematiannya. Benediktus adalah paus pertama yang mengundurkan diri tanpa tekanan eksternal sejak Paus Selestinus V pada tahun 1294.[234][235]

Dalam deklarasinya tanggal 10 Februari 2013, Benediktus mengundurkan diri sebagai "Uskup Roma, Penerus Santo Petrus".[236] Dalam sebuah pernyataan, ia menyebutkan kekuatannya yang semakin memburuk serta tuntutan fisik dan mental dari kepausan;[237] ketika berbicara kepada para kardinalnya dalam bahasa Latin, ia memberikan sebuah pernyataan singkat yang mengumumkan pengunduran dirinya. Ia juga menyatakan bahwa ia akan terus melayani Gereja "melalui kehidupan yang didedikasikan untuk doa".[237]

Menurut pernyataan dari Vatikan, pemilihan waktu pengunduran diri tersebut tidak disebabkan oleh penyakit tertentu tetapi untuk "menghindari kesibukan Paskah yang melelahkan".[238] Setelah dua minggu upacara perpisahan, Paus meninggalkan jabatannya pada waktu yang ditentukan dan sede vacante dideklarasikan. Benediktus digantikan oleh Kardinal Jorge Mario Bergoglio, yang mengambil nama kepausan Fransiskus pada 13 Maret 2013.

Menjelang peringatan pertama pengunduran diri Benediktus, dia menulis surat kepada La Stampa untuk menyangkal spekulasi bahwa dia telah dipaksa mundur. “Tidak ada keraguan sedikit pun mengenai keabsahan pengunduran diri saya dari Takhta Santo Petrus,” tulisnya dalam surat kepada surat kabar tersebut. "Satu-satunya syarat untuk sahnya keputusan adalah kebebasan penuh dalam mengambil keputusan. Spekulasi mengenai ketidakabsahan keputusan tersebut sungguh tidak masuk akal," tulisnya.[239] Dalam sebuah wawancara pada 28 Februari 2021, Benediktus kembali mengulangi keabsahan pengunduran dirinya.[240][241][242]

Pada pagi hari tanggal 28 Februari 2013, Paus Benediktus XVI bertemu dengan seluruh Dewan Kardinal dan pada sore hari terbang dengan helikopter ke kediaman musim panas kepausan Castel Gandolfo. Dia tinggal di sana sampai renovasi rumah jomponya selesai, Biara Mater Ecclesiae di Taman Vatikan dekat Basilika Santo Petrus, bekas rumah dua belas biarawati, tempat dia pindah pada 2 Mei 2013.[243][244]

Setelah pengunduran dirinya, Benediktus tetap mempertahankan nama kepausannya dibandingkan kembali ke nama lahirnya.[245] Dia terus mengenakan jubah putih tetapi tanpa pellegrina atau fascia. Dia berhenti memakai sepatu kepausan berwarna merah.[246][247] Benediktus mengembalikan Cincin Nelayan resminya, yang menjadi tidak dapat digunakan karena dua sayatan besar di bagian mukanya.[248]

Menurut juru bicara Vatikan, Benediktus menghabiskan hari pertamanya sebagai Paus emeritus bersama Uskup Agung Georg Gänswein, Prefek Rumah Tangga Kepausan.[249] Di biara, Paus emeritus tidak menjalani kehidupan tertutup, namun belajar dan menulis.[244] Dia bergabung dengan Paus Fransiskus beberapa bulan kemudian pada peresmian patung baru Santo Mikael sang Malaikat Agung. Prasasti pada patung tersebut, menurut Kardinal Giovanni Lajolo, mempunyai lambang kedua paus yang melambangkan fakta bahwa patung tersebut ditugaskan oleh Benediktus dan ditahbiskan oleh Fransiskus.[250]

Pada tahun 2013 dilaporkan bahwa Benediktus mempunyai berbagai masalah kesehatan termasuk tekanan darah tinggi dan terjatuh dari tempat tidur lebih dari satu kali, namun Takhta Suci membantah adanya penyakit tertentu.[251] Mantan Paus membuat keputusannya penampilan publik pertama setelah pengunduran dirinya di Basilika Santo Petrus pada tanggal 22 Februari 2014 untuk menghadiri konsistori kepausan pertama penggantinya Fransiskus. Benediktus memasuki basilika melalui pintu masuk yang tersembunyi dan duduk berjajar dengan beberapa kardinal lainnya. Dia melepaskan zucchetto ketika Paus Fransiskus turun ke bagian tengah Basilika Santo Petrus untuk menyambutnya.[252] Ia kemudian hadir di misa kanonisasi Paus Yohanes XXIII dan Yohanes Paulus II, salam kepada para kardinal dan Fransiskus.

Pada bulan Agustus 2014, Benediktus merayakan Misa di Vatikan dan bertemu dengan mantan mahasiswa doktoralnya, sebuah tradisi tahunan yang ia pelihara sejak tahun 1970an.[253] Ia menghadiri Beatifikasi Paus Paulus VI pada bulan Oktober 2014.[254] Beberapa minggu sebelum ini, ia bergabung dengan Paus Fransiskus di Lapangan Santo Petrus untuk bertemu dengan kakek-nenek guna menghormati pentingnya mereka dalam masyarakat.[255]

Benediktus menulis teks pidatonya, yang disampaikan oleh Uskup Agung Georg Gänswein, pada kesempatan peresmian Aula Magna di Universitas Kepausan Urbaniana kepada Paus emeritus, "suatu tanda terima kasih atas apa yang telah dilakukannya bagi Paus Fransiskus." Gereja sebagai ahli konsili, dengan pengajarannya sebagai profesor, sebagai Prefek Kongregasi Ajaran Iman dan, akhirnya, Magisterium." Upacara berlangsung pada hari Selasa, 21 Oktober 2014, saat pembukaan tahun ajaran.[256]

Benediktus menghadiri konsistori para kardinal baru pada bulan Februari 2015, menyapa Fransiskus di awal perayaan.[257] Pada musim panas 2015, Benediktus menghabiskan dua minggu di Castel Gandolfo, atas undangan Paus Fransiskus. Selama di Castel Gandolfo, Benediktus mengikuti dua acara publik. Ia menerima dua gelar doktor kehormatan yang diberikan kepadanya oleh Kardinal Stanislaw Dziwisz, ajudan lama Paus Yohanes Paulus II, dari Universitas Kepausan Yohanes Paulus II dan Akademi Musik Kraków.[258] Dalam pidato resepsinya, Benediktus membayar penghormatan kepada pendahulunya, John Paul II.[258]

Perpustakaan Romawi Joseph Ratzinger–Benedict XVI di Pontifical Teutonic College diumumkan pada bulan April 2015 dan dijadwalkan dibuka untuk para sarjana pada bulan November 2015.[259] Bagian perpustakaan yang didedikasikan untuk kehidupan dan pemikirannya sedang dikatalogkan. Ini mencakup buku-buku karya atau tentang dia dan studinya, banyak di antaranya disumbangkan oleh Benedict sendiri.[260][261]

Benediktus, pada bulan Agustus 2015, menyerahkan kartu tulisan tangan sebagai kesaksian atas tujuan kanonisasi Paus Yohanes Paulus I.[262][263]

Pada bulan Maret 2016, Benediktus memberikan wawancara untuk mengungkapkan pandangannya tentang belas kasihan dan mendukung penekanan Fransiskus pada belas kasihan dalam praktik pastoralnya.[264] Juga bulan itu, juru bicara Vatikan menyatakan bahwa kesehatan fisik Benediktus "perlahan-lahan memudar", meskipun kapasitas mentalnya tetap "sangat jernih".[265]

Paus emeritus diberi penghormatan oleh Kuria Romawi dan Fransiskus pada tahun 2016 pada audiensi khusus, untuk memperingati peringatan ke-65 pentahbisannya menjadi imam. Pada bulan November itu, dia tidak menghadiri konsistori untuk para kardinal baru, melainkan bertemu dengan mereka dan Fransiskus di kediamannya sesudahnya.[266] Setelah kematian Kardinal Paulo Evaristo Arns pada bulan Desember 2016, Benediktus menjadi orang terakhir yang diangkat menjadi kardinal oleh Paus Paulus VI.[267]

Pada bulan Juni 2017, Benediktus menerima para kardinal baru di kapelnya dan berbicara dengan mereka masing-masing dalam bahasa ibu mereka.[268] Pada bulan Juli 2017, ia mengirimkan pesan melalui sekretaris pribadinya untuk pemakaman Kardinal Joachim Meisner, yang meninggal mendadak saat berlibur di Jerman.[269]

Pada bulan November 2017, gambar muncul di halaman Facebook Uskup Passau, Stefan Oster, dari Benediktus dengan mata hitam; uskup dan penulis Peter Seewald mengunjungi mantan paus pada tanggal 26 Oktober karena keduanya sedang memberikan buku baru Benediktus XVI – Paus Jerman yang dibuat oleh keuskupan Passau kepada Benediktus. Mantan Paus itu menderita hematoma sebelumnya setelah terpeleset.[270]

Pada akhir tahun 2019, Benediktus berkolaborasi dalam sebuah buku yang menyatakan bahwa Gereja Katolik harus mempertahankan disiplin klerus selibat, mengingat perdebatan yang sedang berlangsung mengenai masalah ini, meskipun kemudian ia meminta agar namanya dihapus. dari buku sebagai rekan penulis.[271][272][273]

Pada bulan Juni 2020, Benediktus mengunjungi saudaranya yang sekarat, Georg Ratzinger, di Jerman untuk terakhir kalinya.[274][275] Georg meninggal pada 1 Juli 2020, dalam usia 96 tahun.[276]

Pada tanggal 3 Agustus 2020, para pembantu Benediktus mengungkapkan bahwa ia menderita radang saraf trigeminal.[277] Pada tanggal 2 Desember tahun yang sama, Kardinal Malta Mario Grech mengumumkan kepada Vatican News bahwa Benediktus mengalami kesulitan berbicara dan dia mengalami memberi tahu para kardinal baru setelah konsistori bahwa "Tuhan telah menghapus suara saya agar saya dapat menghargai keheningan".[278]

Benediktus menjadi paus dengan umur terpanjang pada 4 September 2020 pada usia 93 tahun, 4 bulan, 16 hari, melampaui usia Paus Leo XIII.[279][280] Pada bulan Januari 2021, Benediktus dan Fransiskus masing-masing menerima dosis vaksin COVID-19.[281] Pada tanggal 29 Juni 2021, Paus emeritus merayakan yubileum platinum (peringatan ke-70) sebagai imam.[282]

Setelah konsistori 27 Agustus 2022, Fransiskus dan para kardinal yang baru dilantik melakukan kunjungan singkat kepada Benediktus di Biara Mater Ecclesiae.[283]

Pada tanggal 28 Desember 2022, Paus Fransiskus mengatakan di akhir audiensinya bahwa Benediktus "sakit parah" dan meminta Tuhan untuk "menghiburnya dan mendukungnya dalam kesaksian cintanya terhadap Gereja sampai akhir".[284] Pada hari yang sama, Matteo Bruni, direktur Kantor Pers Takhta Suci, menyatakan bahwa "dalam beberapa jam terakhir telah terjadi penurunan kesehatan [Benediktus] karena bertambahnya usia" dan bahwa ia berada di bawah perawatan medis. Bruni juga menyatakan bahwa Paus Fransiskus mengunjungi Benediktus di Biara Mater Ecclesiae setelah audiensi.[285][286]

Paus Benediktus XVI wafat pada tanggal 31 Desember 2022 pukul 9:34 pagi Waktu Eropa Tengah di Biara Mater Ecclesiae. Dia berusia 95 tahun. Sekretaris lamanya, Mgr. Georg Gänswein, melaporkan bahwa kata-kata terakhirnya adalah "Signore ti amo" (Italia for 'Tuhan, aku mencintai-Mu')).[287][288][289]

Dari tanggal 2 hingga 4 Januari 2023, jenazah Benediktus dibaringkan di Basilika Santo Petrus, di mana sekitar 195.000 orang memberikan penghormatan.[290] Pemakamannya berlangsung pada tanggal 5 Januari 2023 di Lapangan Santo Petrus pada pukul 9:30 pagi, dipimpin oleh Paus Fransiskus dan dirayakan oleh Kardinal Giovanni Battista Re.[291] Ini adalah pertama kalinya sejak tahun 1802 seorang Paus menghadiri pemakaman pendahulunya.[292] Pemakaman dihadiri oleh sekitar 50.000 orang.[293] Beberapa peserta memegang poster bertuliskan atau meneriakkan "Santo subito", menyerukan pengangkatannya menjadi santo, seruan yang terdengar sebelumnya di pemakaman Yohanes Paulus II.[294] Benediktus dikebumikan di ruang bawah tanah di bawah Basilika Santo Petrus, di makam yang sama pada awalnya ditempati oleh Paus Yohanes Paulus II dan Paus Yohanes XXIII.[293] Makam tersebut dibuka untuk umum pada 8 Januari 2023.[295]

Sebagai Paus, gelar lengkap Benediktus yang jarang digunakan adalah:

Yang Mulia Benediktus XVI, Uskup Roma, Vikaris Kristus, Penerus Pangeran Para Rasul, Pontif Tertinggi Gereja Universal, Primat Italia, Uskup Agung dan Provinsi Metropolitan Roma, Penguasa Negara Kota Vatikan, Hamba segala hamba Allah.[296]

Gelar yang paling terkenal, yaitu "Paus", tidak muncul dalam daftar gelar resmi, tetapi umumnya digunakan dalam judul-judul dokumen, dan dalam bentuk singkatannya muncul dalam tanda tangannya sebagai "PP". singkatan dari "Papa" ("Paus").[297][298][299][300]

Sebelum 1 Maret 2006, daftar gelar juga biasanya memuat nama "Patriark Barat", yang secara tradisional muncul dalam daftar gelarsebelum "Primat Italia". Gelar "Patriark Barat" telah dihapus pada Annuario Pontificio edisi 2006. Menurut Achille Silvestrini, Benediktus memilih untuk menghapus gelar tersebut sekaligus sebagai "tanda kepekaan ekumenis" terhadap isu keutamaan kepausan.[301]

Setelah pengunduran dirinya, gaya resmi mantan paus dalam bahasa Inggris adalah Yang Mulia Benediktus XVI, Paus Agung emeritus atau Paus emeritus.[302] Secara kurang formal ia disebut sebagai Paus Emeritus atau Pontifex Emeritus Romawi.[303] Selain itu, menurut 1983 Kode Hukum Kanonik, ia juga merupakan uskup emeritus Roma, mempertahankan karakter suci yang diterima pada pentahbisannya sebagai uskup dan menerima gelar emeritus di keuskupannya; meskipun dia tidak menggunakan gaya ini.[304] Paus emeritus secara pribadi lebih suka dikenal sebagai "Romo".[305]

Pada tahun 2005, Paus menyebutkan beberapa cara untuk memerangi penyebaran HIV, termasuk kesucian, kesetiaan dalam pernikahan, dan upaya pengentasan kemiskinan; dia juga menolak penggunaan kondom.[306] Dugaan penyelidikan Vatikan mengenai apakah ada kasus di mana orang yang sudah menikah boleh menggunakan kondom untuk melindungi diri dari penyebaran infeksi mengejutkan banyak umat Katolik setelah Paus Yohanes Paulus II yang konsisten untuk mempertimbangkan penggunaan kondom sebagai respons terhadap AIDS.[307] Namun, Vatikan sejak itu menyatakan bahwa tidak ada perubahan seperti itu dalam ajaran Gereja dapat terjadi.[308] TIME juga melaporkan dalam edisi 30 April 2006 bahwa posisi Vatikan tetap sama dengan para pejabat Vatikan yang "dengan tegas menolak laporan bahwa Vatikan akan mengeluarkan dokumen yang akan membenarkan penggunaan kondom."[308]

Pada bulan Maret 2009, Paus menyatakan:

Saya berpendapat bahwa masalah AIDS ini tidak dapat diatasi hanya dengan uang, meskipun itu perlu. Jika tidak ada dimensi kemanusiaan, jika masyarakat Afrika tidak membantu, permasalahannya tidak dapat diatasi dengan distribusi obat-obatan profilaksis: sebaliknya, mereka justru meningkatkannya. Solusinya harus mempunyai dua elemen: pertama, memunculkan dimensi kemanusiaan dalam seksualitas, yaitu pembaruan spiritual dan kemanusiaan yang akan membawa serta cara berperilaku baru terhadap orang lain, dan kedua, persahabatan sejati terutama ditawarkan kepada mereka yang adalah penderitaan, kesediaan untuk berkorban dan melakukan penyangkalan diri, untuk berada di sisi penderitaan.[309]

Pada bulan November 2010, dalam sebuah wawancara sepanjang buku, Benedict, dengan menggunakan contoh pelacur laki-laki, menyatakan bahwa penggunaan kondom, dengan tujuan mengurangi risiko infeksi HIV, mungkin merupakan indikasi bahwa pelacur tersebut bermaksud mengurangi risiko infeksi HIV. kejahatan terkait dengan aktivitas amoralnya.[310] Dalam wawancara yang sama, Paus juga menegaskan kembali ajaran tradisional Gereja bahwa kondom tidak dipandang sebagai "solusi nyata atau moral" terhadap pandemi HIV/AIDS . Lebih jauh lagi, pada bulan Desember 2010, Kongregasi Ajaran Iman menjelaskan bahwa pernyataan Benediktus tidak merupakan legitimasi atas kontrasepsi atau prostitusi, yang tetap merupakan tindakan yang sangat tidak bermoral.[310]

Selama menjabat sebagai Prefek Kongregasi Ajaran Iman (CDF), Kardinal Ratzinger melakukan beberapa upaya untuk mengatasi masalah homoseksualitas di dalam Gereja Katolik dan dunia yang lebih luas. Pada tahun 1986 CDF mengirimkan surat kepada semua uskup dengan judul: Tentang Pelayanan Pastoral bagi Orang Homoseksual. Surat tersebut mengutuk interpretasi liberal terhadap dokumen CDF sebelumnya, Deklarasi Pertanyaan Tertentu Mengenai Etika Seksual, yang telah mengarah pada sikap "jinak" "terhadap kondisi homoseksual itu sendiri". Tentang Pelayanan Pastoral bagi Orang-Orang Homoseksual mengklarifikasi bahwa posisi Gereja mengenai homoseksualitas adalah bahwa "walaupun kecenderungan tertentu dari orang homoseksual bukanlah suatu dosa, namun kecenderungan tersebut kurang lebih kuat yang diarahkan ke arah kejahatan moral yang hakiki; dan dengan demikian kecenderungan itu sendiri harus dilihat sebagai kelainan obyektif."[311] Namun, dokumen tersebut juga mengutuk serangan dan kekerasan homofobik, dengan menyatakan bahwa "Sangat disayangkan bahwa orang-orang homoseksual telah dan menjadi objeknya." kebencian yang kejam dalam ucapan atau tindakan. Perlakuan seperti ini patut mendapat kecaman dari para pendeta Gereja di mana pun hal itu terjadi."[311]

Pada tahun 1992, Ratzinger kembali menyetujui dokumen CDF yang menyatakan bahwa "kecenderungan homoseksual itu sendiri harus dilihat sebagai kelainan obyektif" dan memperluas prinsip ini ke dalam hukum perdata. "Orientasi seksual", menurut dokumen tersebut, tidak setara dengan ras atau etnis, dan dinyatakan bahwa "bukanlah diskriminasi yang tidak adil jika mempertimbangkan orientasi seksual."[312]

Pada tanggal 22 Desember 2008, Benediktus memberikan pesan akhir tahun kepada Kuria Romawi di mana ia berbicara tentang gender dan perbedaan penting antara laki-laki dan perempuan. Ia mengatakan bahwa Gereja memandang perbedaan sebagai hal yang penting dalam sifat manusia, dan “meminta agar tatanan penciptaan ini dihormati”. Dalam kata-katanya, Gereja harus “melindungi manusia dari kehancuran diri sendiri”. Beliau mengatakan bahwa “sesuatu seperti ekologi manusia” diperlukan, dan menambahkan: “Hutan hujan memang layak untuk dilindungi, namun demikian pula halnya dengan manusia.” Ia menyerang "teori gender", yang digambarkannya sebagai "usaha manusia untuk membebaskan diri dari ciptaan dan Sang Pencipta."[313][314][315]

Kelompok LGBT, seperti Arcigay Italia dan LSVD Jerman, mengumumkan bahwa mereka menganggap komentar Benediktus bersifat homofobik.[316] Aurelio Mancuso, kepala Arcigay, mengatakan "Program ilahi untuk pria dan wanita tidak sejalan dengan alam, di mana perannya tidak begitu jelas ."[314] Penulis Kanada Daniel Gawthrop, dalam biografi kritisnya, The Trial of Pope Benedict, mengatakan bahwa Paus menyalahkan homoseksualitas "atas masalah yang dihadapi umat manusia." gereja telah rela mengaktifkannya selama ratusan tahun".[317]

Juru bicara Vatikan Federico Lombardi menyatakan bahwa Paus tidak bermaksud secara spesifik menyerang orang-orang yang memiliki kecenderungan homoseksual, dan tidak menyebutkan kaum gay atau lesbian dalam teksnya. Lombardi bersikeras bahwa terdapat reaksi berlebihan terhadap pernyataan Paus tersebut, dengan mengatakan: "Dia berbicara secara lebih umum tentang teori gender yang mengabaikan perbedaan mendasar dalam penciptaan antara laki-laki dan perempuan." temukan perempuan dan fokuslah pada pengondisian budaya." Namun demikian, pernyataan tersebut ditafsirkan sebagai seruan untuk menyelamatkan umat manusia dari kaum homoseksual dan transeksual.[314]

Dalam pidatonya pada konferensi Keuskupan Roma yang diadakan di Basilika Agung Santo Yohanes Lateran 6 Juni 2005, Benediktus mengomentari isu pernikahan sesama jenis dan aborsi:[318]

Berbagai bentuk pembubaran perkawinan saat ini, seperti perkawinan bebas, perkawinan percobaan, dan perkawinan palsu oleh sesama jenis, lebih merupakan ekspresi kebebasan anarkis yang secara keliru dianggap sebagai kebebasan sejati manusia... dari sini menjadi semakin jelas betapa bertentangannya dengan cinta manusia, dengan panggilan mendalam pria dan wanita, yang secara sistematis menutup persatuan mereka terhadap anugerah kehidupan, dan bahkan lebih buruk lagi jika menekan atau merusak kehidupan yang ada. lahir.

Saat pidato Natal tahun 2012,[319] Benediktus memberikan komentar tentang penafsiran masa kini atas gagasan tentang gender. Ia menyatakan bahwa filosofi baru tentang seksualitas, yang ia tolak, menyatakan bahwa "seks bukan lagi sebuah elemen alamiah, yang harus diterima dan dipahami secara pribadi oleh manusia: seks adalah peran sosial yang kita pilih sendiri", dan "Perkataan dalam kisah penciptaan: 'laki-laki dan perempuan diciptakannya mereka' (Kejadian 1:27) tidak berlaku lagi". Meskipun ia tidak menyebutkan topik tersebut, perkataannya ditafsirkan oleh media berita sebagai kecaman terhadap pernikahan sesama jenis,[320] dan beberapa media menambahkan bahwa Benediktus akan menyebutnya sebagai ancaman terhadap perdamaian dunia seperti halnya aborsi dan euthanasia.[321] Pada bulan Maret 2012, ia menyatakan bahwa pernikahan heteroseksual harus dilarang dilindungi dari "setiap kemungkinan penafsiran keliru tentang sifat asli mereka".[322]

Dalam pesan yang dikeluarkan tanggal 14 November 2006, pada konferensi pers Vatikan untuk peringatan tahunan Hari Migran dan Pengungsi Sedunia, Paus mendesak ratifikasi konvensi dan kebijakan internasional yang membela semua migran , termasuk pengungsi, orang buangan, pengungsi dan pengungsi internal. “Gereja mendorong ratifikasi instrumen hukum internasional yang bertujuan untuk membela hak-hak migran, pengungsi dan keluarga mereka,” kata Paus. “Banyak yang telah dilakukan untuk integrasi keluarga imigran, meskipun masih banyak yang harus dilakukan.”[323]

Benediktus juga mempromosikan berbagai acara PBB, seperti Hari Pengungsi Sedunia, di mana ia memanjatkan doa khusus untuk para pengungsi dan menyerukan komunitas internasional untuk berbuat lebih banyak untuk menjamin hak asasi para pengungsi. Ia juga meminta komunitas dan organisasi Katolik untuk menawarkan bantuan nyata kepada mereka.[324]

Pada tahun 2015, dilaporkan bahwa Benediktus sedang "berdoa untuk para migran dan pengungsi" dari Suriah.[325]

Pada tahun 2007, Benediktus mengirim surat pada hari Paskah kepada umat Katolik di Tiongkok yang dapat mempunyai implikasi luas terhadap hubungan Gereja dengan para pemimpin Tiongkok. Surat tersebut memberikan panduan yang telah lama diminta kepada para uskup Tiongkok tentang cara menanggapi uskup yang ditahbiskan secara tidak sah, serta cara memperkuat hubungan dengan Asosiasi Patriotik dan pemerintah Komunis.[326]

Pada tanggal 13 November 2006, Benediktus mengatakan bahwa perselisihan mengenai program senjata nuklir Korea Utara harus diselesaikan melalui negosiasi, dalam komentar publik pertamanya mengenai masalah keamanan, sebuah laporan berita mengatakan. “Tahta Suci mendorong negosiasi bilateral atau multilateral, dengan keyakinan bahwa solusi harus dicari melalui cara damai dan menghormati perjanjian yang diambil oleh semua pihak untuk mencapai denuklirisasi Semenanjung Korea.” Benediktus sedang berbicara dengan duta besar Jepang yang baru untuk Vatikan.[327]

Dalam wawancara tahun 2004 Le Figaro, Ratzinger mengatakan bahwa Turki, yang secara demografis adalah Muslim namun secara pemerintahan sekuler berdasarkan konstitusi negaranya, harus mengupayakan masa depannya dalam sebuah asosiasi yang Negara-negara Muslim daripada Uni Eropa, yang menurut Ratzinger berakar dari agama Katolik. Dia mengatakan Turki selalu "berbeda secara permanen dengan Eropa dan menghubungkannya dengan Eropa adalah sebuah kesalahan".[328]

Kemudian saat mengunjungi negara tersebut untuk "menegaskan kembali solidaritas antar budaya", dilaporkan bahwa Benediktus membuat pernyataan balasan yang mendukung tawaran Turki untuk bergabung dengan UE. Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdoğan mengatakan bahwa Paus mengatakan kepadanya dalam pertemuan mereka bahwa meskipun Vatikan berusaha untuk tidak terlibat dalam politik, mereka menginginkan keanggotaan Turki di UE.[329][330] Namun, Deklarasi Umum Paus Benediktus XVI dan Patriark Bartolomeus I dari Konstantinopel menyiratkan bahwa dukungan terhadap keanggotaan Turki di Uni Eropa akan bergantung pada pembentukan kebebasan beragama di Turki:[331] "Dalam setiap langkah menuju unifikasi, kelompok minoritas harus dilindungi, dengan tradisi budaya dan ciri khas agama mereka."[176]

Pada bulan Mei 2009, Benediktus mengunjungi Israel.[332][333] Ini adalah kunjungan Paus yang ketiga ke Tanah Suci, sebelumnya dilakukan oleh Paulus VI pada tahun 1964 dan Yohanes Paulus II pada tahun 2000.

Perdana Menteri Vietnam Nguyễn Tấn Dũng bertemu dengan Benediktus di Vatikan pada tanggal 25 Januari 2007 dalam sebuah "langkah baru dan penting menuju pembentukan hubungan diplomatik".[334] Paus bertemu dengan presiden Vietnam Nguyễn Minh Triết pada tanggal 11 Desember 2009. Para pejabat Vatikan menyebut pertemuan tersebut sebagai "tahap penting dalam kemajuan hubungan bilateral dengan Vietnam."[335]

Pada bulan Juli 2009, Benediktus menerbitkan ensiklik ketiganya, Caritas in veritate[336] (Amal dalam kebenaran), yang menguraikan landasan filosofis dan moral bagi pembangunan manusia, secara individu dan kolektif, dalam memperjuangkan kebaikan bersama. Ini adalah ensiklik terakhir dari kepausan Benediktus XVI.

Caritas in veritate membahas distribusi kekayaan amal dengan sangat rinci dan membahas lingkungan, migrasi, terorisme, pariwisata seksual, bioetika, energi, dan populasi. The Financial Times melaporkan bahwa advokasi Benedict untuk redistribusi kekayaan yang lebih adil membantu menetapkan agenda KTT G8 bulan Juli 2009.[337][338]

Yang juga termasuk dalam Charity in Truth adalah advokasi untuk pilihan pajak:

Salah satu pendekatan yang mungkin dilakukan terhadap bantuan pembangunan adalah dengan menerapkan secara efektif apa yang disebut subsidiaritas fiskal, yang memungkinkan warga negara memutuskan bagaimana mengalokasikan sebagian pajak yang mereka bayarkan kepada Negara. Asalkan hal ini tidak mengarah pada peningkatan kepentingan-kepentingan khusus, hal ini bisa membantu menstimulasi bentuk solidaritas kesejahteraan dari bawah, yang juga memberikan manfaat nyata dalam bidang solidaritas untuk pembangunan.[336]

Paus Benediktus mendukung penggunaan energi nuklir sebagai alat pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Dalam pesannya untuk peringatan 50 tahun berdirinya Badan Energi Atom Internasional, ia menegaskan: “Takhta Suci, yang sepenuhnya menyetujui tujuan IAEA, telah menjadi anggota dari yayasan organisasi tersebut dan terus mendukung aktivitasnya."[339]

Paus Benediktus XVI dikenal sangat tertarik pada musik klasik,[22] dan merupakan seorang pianis ulung.[340] Komposer favoritnya adalah Wolfgang Amadeus Mozart, yang tentang musiknya dia berkata: "Musiknya sama sekali bukan sekadar hiburan; berisi seluruh tragedi keberadaan manusia."[341] Benediktus juga menyatakan bahwa musik Mozart sangat mempengaruhi dirinya sebagai seorang pemuda dan "menembus jauh ke dalam jiwanya".[341] Karya musik favorit Benediktus adalah Clarinet Concerto dan Clarinet Quintet.[342] Dia merekam sebuah album musik klasik kontemporer di mana ia bernyanyi dan mendaraskan doa kepada Santa Perawan Maria.[343] Album ini direncanakan dirilis pada 30 November 2009 . Benediktus juga dikenal menyukai kucing.[22] Sebagai Kardinal Ratzinger, dia dikenal (menurut mantan tetangganya) yang memelihara kucing liar di lingkungannya, Borgo. Sebuah buku berjudul Joseph dan Chico: Seekor Kucing Menceritakan Kehidupan Paus Benediktus XVI diterbitkan pada tahun 2007 yang menceritakan kisah kehidupan Paus dari sudut pandang kucing Chico. Kisah ini terinspirasi oleh seekor kucing Pentling kucing oranye, milik keluarga sebelah.[344] Selama perjalanannya ke Australia untuk Hari Pemuda Sedunia pada tahun 2008, media melaporkan festival tersebut penyelenggara meminjamkan kepada Paus seekor kucing abu-abu bernama Bella[345] untuk menemaninya selama dia tinggal.[346]

Pada 12 Desember 2012, Paus Benediktus mulai menggunakan media sosial Twitter untuk mengirimkan pesan dan menjawab berbagai pertanyaan seputar inti misa mingguan dan pesan-pesan khusus menyangkut peristiwa besar dunia, termasuk bencana alam. Paus akan menggunakan nama "@pontifex" di akun Twitter yang memiliki arti "pembangun jembatan" dan mengacu pada kata "Paus".[347] "Kawan-kawan terkasih, saya senang bisa berkomunikasi dengan Anda melalui Twitter. Terima kasih atas tanggapan Anda yang baik. Saya memberkati Anda semua dari lubuk hati saya," begitulah pesan pertamanya. Setelah pesan pembukaan tersebut, Paus Benediktus mengirim dua pesan lanjutan. Kedua pesan itu berkaitan dengan promosi dari Year of Faith atau Tahun Keyakinan. "Bagaimana kita merayakan Tahun Keyakinan dengan lebih baik dalam kehidupan sehari-hari?" tanya Paus. Dia pun menjawab, "Dengan berbicara kepada Yesus dalam doa, mendengarkan yang disampaikan-Nya dalam firman dan mencari-Nya bagi yang membutuhkan".[348] Sejak pengunduran dirinya, kicauan twitter Paus Benediktus XVI dihapus.

Berbagai macam penghargaan dan kehormatan diberikan kepada Benediktus, antara lain sebagai berikut:

Saat kematiannya, kritik sebelumnya terhadap Benediktus XVI mendapat perhatian baru, khususnya dari pejabat kesehatan masyarakat, aktivis anti-AIDS, dan organisasi hak-hak korban atas penanganannya terhadap kasus pelecehan seksual dalam Gereja Katolik dan posisi penggunaan kondom di daerah dengan penularan HIV tinggi.[222][223][355]

Baik Uskup Agung Canterbury Justin Welby dan Patriark Kirill dari Moskow menyatakan belasungkawa mereka atas kematian Benediktus. Welby menyebut mantan paus itu sebagai "salah satu teolog terhebat di zamannya", sementara Kirill memuji upaya perdamaian yang dilakukan antara gereja Katolik dan Ortodoks Rusia selama masa kepausan Benediktus.[356]

Beberapa umat Katolik menyerukan pengakuan Benediktus sebagai Pujangga Gereja,[357][358] dengan Kardinal Gerhard Müller menggambarkannya sebagai "doktor sejati Gereja saat ini."[359]

"Orang yang bertanggung jawab untuk menegakkan dekrit tersebut selama 20 tahun adalah Kardinal Joseph Ratzinger, orang yang diangkat menjadi Paus tahun lalu. Pada tahun 2001 ia menciptakan penerus dekrit tersebut."

Edisi terbaru buletin SSPX untuk negara-negara berbahasa Jerman ... berisi beberapa pernyataan anti-Semit. 'Orang-orang Yahudi dulunya adalah orang-orang pilihan. Namun mayoritas orang-orang menyangkal Mesias pada kedatangan-Nya yang pertama,' demikian bunyi cerita sampul terbitan Februari.... Menurut artikel buletin tersebut, inilah sebabnya Injil Matius dalam Alkitab menyatakan, 'Darah-Nya tertanggung atas kami dan atas kami. anak-anak,' sebuah frasa yang secara historis digunakan oleh sebagian umat Kristen untuk membenarkan anti-Semitisme.

memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:

Sebelum adanya Paus Fransiskus, ada seorang paus yang mengundurkan diri, yakni Paus Benediktus XVI. Pasalnya, pada 11 Februari 2013, ia membuat pengumuman yang mengejutkan Vatikan dan umat Katolik di seluruh dunia. Sebab, untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, kepala Gereja Katolik ini ingin mengundurkan diri atau pensiun dari kepausan.

Paus Benediktus XVI, sebelumnya adalah seorang Kardinal bernama Joseph Ratzinger. Ia terpilih pada April 2005 sebagai paus ke-265. Di samping itu, Paus Benediktus XVI adalah orang keturunan Jerman. Pemilihannya dilakukan setelah kematian Paus Yohanes Paulus II, yang memimpin sebagai paus selama 26 tahun lamanya. Paus Benediktus XVI sendiri hanya menjabat 8 tahun sebagai Paus. Simak fakta-faktanya berikut ini!

Paus Benediktus XVI mengundurkan diri sebagai Paus

Gelar Paus Emeritus adalah gelar kehormatan, dan gelar itu mengakui dirinya dan peran yang pernah diembannya sebelumnya. Akan tetapi, saat memutuskan untuk pensiun, Paus Benediktus XVI mengatakan bahwa hal ini terkait dengan masalah kesehatan dan usianya, yang memengaruhi kemampuannya untuk memimpin. Namun, beberapa orang berspekulasi bahwa ada alasan lain mengapa ia meninggalkan kepausan, terutama karena sebuah buku diterbitkan setahun sebelum ia mengundurkan diri. Buku tersebut mengungkap korupsi di dalam Vatikan.

Apa pun alasannya, Benediktus XVI ingin menghabiskan masa pensiunnya dengan tenang, seperti menulis, membaca, dan jalan-jalan di taman Kota Vatikan tempat dia tinggal. Namun, di sisi lain, Benediktus XVI justru kepikiran terus dengan kepemimpinan Paus Fransiskus, terutama mengenai masalah pelecehan seksual yang merajalela di kalangan pendeta. Dalam surat sepanjang 6.000 kata yang diterbitkan oleh Catholic News Agency pada 2019, Benediktus XVI menulis, "Mengapa pedofilia mencapai proporsi seperti itu? Pada akhirnya, alasannya adalah ketidakhadiran Tuhan."

Surat yang ditulis Benediktus XVI menimbulkan kontroversi

Pengunduran dirinya tidak hanya membuat syok seluruh Kota Vatikan dan umat Katolik di seluruh dunia, tetapi juga menimbulkan kontroversi di kemudian hari. Pasalnya, surat yang ditulisnya tentang pelecehan seksual membuat perpecahan di antara umat Katolik. Benediktus XVI berpendapat bahwa ajaran atau revolusi tentang seksualitas dari Gereja Katolik dianggap menjadi pencetus terjadinya pelecehan seksual, terutama adanya edukasi seks yang kebablasan pada anak-anak.

Disamping itu, umat Katolik dengan pandangan yang lebih konservatif memuji mantan paus tersebut, karena berani tampil dan speak up tentang masalah itu. Namun, bagi kaum tradisionalis, Benediktus XVI dianggap meremehkan penggantinya, yakni Paus Fransiskus. Sebab, pernyataannya seolah meminta Paus Fransiskus untuk membenahi permasalahan yang berakar dari Gereja Katolik.

Sejak menjabat sebagai paus, Paus Fransiskus sering kali dipuji sebagai orang yang progresif. Namun, pendahulunya tidak. Pandangan Paus Fransiskus pun dianggap sangat berbeda. Nah, inilah yang diduga menyebabkan mantan Paus Benediktus XVI memecah kebisuannya dengan surat sepanjang 6.000 kata tersebut.

Situasi tersebut membuat umat Katolik bingung, karena keduanya memiliki pandangan yang saling bertentangan. Hal ini belum pernah dihadapi Gereja Katolik sebelumnya. Kontroversi tersebut pun menimbulkan gosip dan permusuhan yang membuat mantan Paus Benediktus XVI dan Paus Fransiskus diserang habis-habisan oleh kaum tradisionalis, sebagaimana yang dilansir National Catholic Reporter.

Menurunnya kesehatan Benediktus XVI

Benediktus XVI berusia 95 tahun pada April 2022 lalu, dan pada Januari tahun itu, penyelidikan yang dilakukan oleh sebuah firma hukum Jerman menyatakan bahwa ada kelalaian saat menangani masalah kesehatan yang diderita Benediktus XVI. Namun, juru bicara Benediktus XVI membantah tuduhan tersebut.

Pada 28 Desember 2022, Paus Fransiskus meminta doa untuk Benediktus XVI, dengan mengatakan, "Saya ingin meminta doa khusus kepada Anda semua untuk Paus Emeritus Benediktus XVI, yang mendukung Gereja dalam diam. Ingatlah dia, dia sakit parah. Kita meminta Tuhan untuk menghiburnya dan mendukungnya dalam kesaksian cinta kepada Gereja, sampai akhir."

Segera setelah itu, media berspekulasi bahwa Benediktus XVI sedang kritis dan kematiannya mungkin tidak lama lagi. Hal ini dibenarkan oleh seorang juru bicara Vatikan, yang mengatakan bahwa kondisi mantan Paus itu terus memburuk dalam beberapa jam terakhir. Meskipun begitu, ia menjelaskan bahwa Benediktus XVI relatif stabil dan berada di bawah pengawasan dokter.

Setelah pensiun menjadi paus, Benediktus XVI jarang tampil di publik

Benediktus XVI menjauh dari sorotan media ketika Paus Fransiskus mengambil alih kepemimpinan pada 2013. Pada tahun-tahun setelah Benediktus XVI pensiun, mantan paus itu sesekali tampil di depan publik. Hampir setahun penuh tak terlihat setelah pengunduran dirinya, Benediktus XVI baru terlihat lagi dalam sebuah upacara untuk para Kardinal pada 2014.

Kemunculanya di publik bisa dibilang hanya setahun sekali. Lalu, Benediktus XVI muncul lagi pada 2016. Kemudian pada 2018, ia muncul pada Misa yang dipimpin oleh Paus Fransiskus.

Meskipun tinggal di Vatikan, Benediktus XVI lebih sering berada di balik layar. Ia tidak suka menjadi sorotan. Hal ini sudah ditekankannya setelah pengumuman pengunduran dirinya pada 2013. Benediktus XVI memang ingin bersembunyi dari dunia luar.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Benediktus XVI pun menepati janji itu selama bertahun-tahun hingga ia tampil di publik kembali untuk memperingatkan Paus Fransiskus terkait skandal pelecehan dalam Gereja Katolik. Sayangnya, Benediktus XVI justru menerima kritikan, karena mengingkari janjinya untuk tetap berada di balik layar. Namun, beberapa orang justru memujinya.

Baca Juga: Siapa Paus Pertama dalam Gereja Katolik?

Paus Benediktus XVI bukan Paus pertama yang berasal dari Jerman

Paus Benediktus XVI memang mejadi paus pertama yang terpilih di zaman modern, tetapi dia adalah orang Jerman kedelapan yang menjabat. Namun, butuh waktu hampir 10 abad lamanya. Seperti yang mungkin kamu tahu, mayoritas paus adalah keturunan Italia. Paus Fransiskus sendiri keturunan Italia, meskipun ia berasal dari Argentina.

Namun, karena Kekaisaran Romawi Suci pernah menguasai banyak wilayah dalam sejarahnya, Paus Emeritus Benediktus XVI pun bisa dianggap sebagai salah satu dari tiga Paus yang berasal dari tanah yang sama yang membentuk Jerman modern, dua lainnya adalah Paus Viktor II dan Paus Klemens II.

Pasalnya, sebelum Benediktus XVI, paus kelahiran Jerman terakhir adalah Paus Viktor II. Ia juga memiliki masa kepausan yang singkat, yang hanya berlangsung selama dua tahun, dari 1055 hingga 1057. Namun, berakhirnya masa kepausan Viktor II terjadi karena Paus Viktor II meninggal, bukan karena pengunduran dirinya.